Akademisi Unkhair: Sofifi Harus Jadi Kota, Tapi Jangan Bunuh Fiskal Tidore

Sofifi, malutpost.com -- Akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Kota Ternate Mukhtar Adam juga menyoroti terkait status ibu kota Provinsi Maluku Utara yang terletak di Sofifi.
Menurut Mukhtar, lebih dari dua dekade setelah Maluku Utara resmi berdiri sebagai provinsi, satu pertanyaan mendasar terus berputar di ruang publik dan politik, dimana ibu kota seharusnya berada secara definitif?.
Ia menjelaskan, nama Sofifi terus mengemuka sebagai jawaban paling masuk akal, namun jalan menuju pemantapan statusnya sebagai kota madya dan pusat pemerintahan masih dipenuhi tarik-menarik kepentingan, kekhawatiran fiskal, dan beban sejarah.
Dalam konteks ini, Mukhtar Adam yang juga Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Maluku Utara yang dikenal sebagai “Om Pala”, menilai bahwa saatnya Maluku Utara mengambil langkah berani dan terukur menuju masa depan yang terintegrasi.
Mukhtar menilai, pembentukan Kota Sofifi harus dilihat dalam kerangka besar sebagai strategi reorientasi pembangunan wilayah. Selama ini, Maluku Utara masih mengalami ketimpangan antara pusat pemerintahan dan pusat pertumbuhan ekonomi.
"Pertumbuhan ekonomi bertumpu pada pertambangan di Halmahera Tengah, Selatan, dan Timur. Tapi semua proses investasi, tata kelola, dan pelayanan publik masih mengarah ke Pulau Ternate sebagai kota dagang," kata Mukhtar, Selasa (15/7/2025).
Untuk itu, Sofifi dinilai strategis. Letaknya di jantung Pulau Halmahera, berdekatan dengan kawasan industri besar seperti IWIP, Harita, dan Antam, serta dikelilingi pelabuhan dan bandara yang mulai berkembang. Ia berada di titik temu antara hinterland SDA dan jalur logistik, sekaligus memiliki fungsi administratif sebagai ibu kota provinsi.
"Inilah yang menciptakan jurang antara pusat ekonomi dan pusat pemerintahan. Sofifi berada pada posisi strategis untuk menyatukan yang tercerai itu," ujarnya.
Namun demikian, Mukhtar mengingatkan bahwa pemisahan wilayah Sofifi, khususnya dari Kecamatan Oba yang selama ini berada dalam naungan Kota Tidore Kepulauan, bukan hanya soal pemetaan ulang, tapi menyangkut akses fiskal strategis.
Ia menjelaskan, bahwa dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI dan Menteri Dalam Negeri pada 8 Juli 2025, muncul kekhawatiran Wali Kota Tidore akan menyusutnya wilayah administratif jika Sofifi menjadi kota mandiri. Mendagri menafsirkan ini sebagai ketakutan administratif, namun Mukhtar menegaskan ini lebih dalam, soal hilangnya hak fiskal.
"Lebih dari 90 persen PAD Kota Tidore tahun 2025 bersumber dari DBH pertambangan, yakni Rp172,58 miliar. Jika wilayah Oba ditarik seluruhnya ke Kota Sofifi, maka Tidore bisa kehilangan hampir seluruh sumber fiskalnya," sebut Mukhtar.
Mukhtar mendorong agar pemerintah pusat tidak hanya hadir sebagai pemisah wilayah, tetapi sebagai perancang keadilan fiskal yang adil dan berkelanjutan. Ia menyarankan agar ada model kompensasi fiskal, skema bagi hasil transwilayah, dan afirmasi khusus bagi kota-kota kepulauan.
"Karena keadilan bukan hanya soal di mana kita berdiri, tapi apa yang bisa kita bangun bersama," tegasnya.
Ia mengusulkan pendekatan rekognisi dan rekalkulasi, yakni sebagian wilayah Oba seperti Oba Tengah, Oba Selatan, dan Oba Induk tetap berada di Kota Tidore, sementara Oba Utara menjadi pusat Kota Sofifi. Bahkan, Sofifi bisa diperkuat dengan memasukkan sebagian wilayah Jailolo Timur (Halbar) dan Kao Teluk (Halut) sebagai bagian dari konsolidasi kawasan.
Mukhtar mengatakan, agar pemerintah pusat membangun desain fiskal lintas-pulau. Menurutnya, bila kebijakan fiskal hanya mengikuti batas darat, maka kota-kota kepulauan seperti Tidore, Ternate, Morotai, dan Taliabu akan selalu berada di pinggiran pembangunan.
"Maluku Utara bisa jadi contoh pertama provinsi yang menerapkan kesetaraan fiskal antarpulau," ujarnya.
Mukhtar menegaskan, bahwa Sofifi bukan sekadar jawaban administratif, tetapi simbol keberanian Maluku Utara dalam memusatkan pembangunan di Halmahera sebagai pulau terbesar dan tulang punggung ekonomi masa depan.
"Dalam wajah kota ini, kita bisa menata ulang kesenjangan darat-laut, menggandeng kabupaten hinterland, dan memperkuat fungsi kota sebagai simpul ekonomi, budaya, dan pemerintahan," jelasnya.
Namun, ia menekankan bahwa pemekaran ini tidak boleh menjadi luka bagi kota induk. Ia harus lahir dari rekonsiliasi fiskal dan semangat gotong royong.
"Ini bukan soal siapa dapat apa, tapi bagaimana kita semua bisa maju bersama," pungkasnya. (nar)
Komentar