Sufisme Politis ala Mulla Shadra

Muhammad Fazry, S.H.,M.H

Shadra berpandangan bahwa risalah kenabian membawa dua misi besar: perbaikan agama dan perbaikan dunia. Keduanya harus dikelola secara filosofis dan politis untuk mewujudkan masyarakat adil dan harmonis.

Dalam hal ini, tasawuf berperan sebagai jembatan moral dan spiritual antara individu dan masyarakat. Perjalanan ruhani individu akan bermuara pada keterlibatan sosial-politik yang adil dan berorientasi pada Tuhan.

Nabi Muhammad Saw.: Model Ideal Politik Sufistik

Nabi Muhammad Saw. adalah teladan nyata dari politik berbasis sufisme. Setelah hijrah ke Madinah, beliau tidak hanya membangun tatanan sosial-politik, tetapi juga membentuk masyarakat spiritual yang berpijak pada nilai-nilai transenden.

Baca Juga: Membangun Nalar Kritis di Era Digital: Tinjauan Madilog

Beberapa dimensi politik sufistik Nabi Muhammad di Madinah antara lain:
Hijrah sebagai tindakan politik sekaligus spiritual.
Piagam Madinah sebagai dasar negara inklusif yang menghargai pluralitas agama.
Kepemimpinan profetik yang mengedepankan moralitas dan keadilan.
Dialog antaragama, menjaga keharmonisan dalam masyarakat multikultural.

Kepemimpinan Nabi menunjukkan bahwa politik bisa menjadi jalan ruhani jika dijalankan dengan akhlak, hikmah, dan niat untuk kemaslahatan. Inilah bentuk konkret dari perjalanan keempat Mulla Shadra: kembali ke masyarakat dengan bimbingan Tuhan.

Sufisme sebagai Jalan Transformasi Sosial

Tasawuf dalam pandangan Shadra bukan sekadar pengalaman mistik, tetapi juga tanggung jawab sosial. Spiritualitas tidak berhenti pada kontemplasi, tetapi harus mewujud dalam etika publik dan struktur sosial.
Hal ini sejalan dengan pemikiran tokoh-tokoh lain:

Ibn Arabi: Politik sebagai sarana menemukan Tuhan, jika dijalankan secara adil dan bijak.
Al-Ghazali: Politik bertujuan menegakkan keadilan sosial, dan harus dipimpin oleh mereka yang bertakwa.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...