Sufisme Politis ala Mulla Shadra

Oleh: Muhammad Fazry
(Wakil Sekertaris ICMI TIKEP)
Pendahuluan
Mengutip Jalaluddin Rakhmat dalam Meraih Cinta Ilahi, seorang sufi bukanlah sosok yang menjauh dari kehidupan sosial lalu menyepi di gua atau masjid, melainkan pribadi yang terus berjuang menegakkan keadilan dan menasihati penguasa dalam semangat amar ma’ruf nahi munkar.
Filsafat hikmah berkembang pesat di Persia pada masa Dinasti Safawi, dengan puncak kreativitasnya pada tokoh besar Sadr al-Din al-Syirazi, lebih dikenal sebagai Mulla Shadra.
Baca Juga: Filsafat Perang Modern
Ia dihormati sebagai Sadr al-Muta’allihin (pemuka para filosof) dan dikenal sebagai pendiri mazhab filsafat al-Hikmah al-Muta‘aliyah, yang menyatukan filsafat rasional (masysya’i), iluminasi (isyraqi), sufisme (‘irfani), dan kalam (teologi) dalam satu sistem pemikiran.
Karya besar Mulla Shadra adalah bentuk sintesis epistemologis dan spiritual, dengan Al-Qur’an dan hadis sebagai rujukan utama.
Di antara pemikirannya yang khas adalah konsep kemendasaran wujud (ashalah al-wujud), gradasi eksistensi (tashkik al-wujud), gerak substansial (harakah al-jawhariyyah), dan konsep empat perjalanan ruhani (Asfār al-Arba‘ah) yang menjadi fokus tulisan ini, terutama dalam kaitannya dengan relasi antara tasawuf dan politik.
Asfār al-Arba‘ah: Empat Perjalanan Ruhani
Konsep Asfār al-Arba‘ah merupakan kerangka yang menggambarkan proses spiritual seseorang menuju penyatuan dengan Tuhan, lalu kembali kepada masyarakat untuk membimbing mereka menuju pencerahan. Empat tahap perjalanan tersebut adalah:
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar