Transisi Energi, Luka yang Ditinggalkan di Halmahera

Suara yang Hilang: Antara Partisipasi dan Pengabaian
Di banyak lokasi pertambangan, masyarakat lokal mengeluh tentang proses yang minim pelibatan. Sosialisasi berlangsung sepihak, sementara Amdal terasa lebih administratif ketimbang partisipatif. Protes ditanggapi dengan kriminalisasi. Warga kehilangan bukan hanya tanah, tetapi juga suara.
Dalam visi Indonesia Emas 2045, energi hijau dan hilirisasi diposisikan sebagai pilar kemandirian nasional. Tapi tanpa kontrol lingkungan dan keadilan sosial, ia justru menjadi wajah baru dari ketimpangan lama.
Apalagi, dampak ekologis seperti deforestasi dan pencemaran laut di Maluku Utara bukan sekadar risiko, tapi sudah jadi realitas.
Transisi Energi: Untuk Siapa?
Pemerintah daerah tentu tidak bekerja sendirian dalam proyek transisi energi ini. Namun, jika suara masyarakat lingkar tambang belum menjadi acuan utama, maka proyek sebesar apa pun tetap berisiko meninggalkan luka yang dalam. Energi bersih seharusnya adil.
Tapi realita di Halmahera menunjukkan sebaliknya. Ketika kota besar merayakan mobil listrik yang melaju tanpa emisi dan tanpa suara, desa-desa lingkar tambang justru terus membisu dalam penderitaan. Transisi energi tidak boleh jadi proyek elite yang melupakan suara masyarakat lingkar tambang.
Sebagian besar warga yang tinggal di sekitar tambang tak memiliki akses terhadap manfaat transisi ini. Mereka tidak menikmati energi listrik yang stabil, apalagi kendaraan listrik.
Infrastruktur publik di lingkar industri justru tertinggal, tertutup debu dan beban sosial. Alih-alih memberdayakan, proyek ini lebih banyak menghadirkan ketergantungan baru: ekonomi ekstraktif yang tak menjamin masa depan generasi muda.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar