AI dan Krisis Ekologi: Solusi atau Ancaman Baru?

Walaupun perkembangan AI dapat dimanfaatkan untuk menjawab persoalan ekologis, namun dalam beberapa kasus, AI juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.
Sebuah artikel berjudul “Ecological Foot Print, Carbon Emissions, Energy Transition: The Impact of Artificial Intelligence” yang dipublikasikan di Nature pada 2024 lalu, menjelaskan bahwa pertumbuhan eksplosif dalam kemampuan AI disertai pula dengan peningkatan eksponensial dalam konsumsi energi yang diperlukan untuk pelatihan AI.
Baca Juga: Memaknai Perjuangan: Antara Gerakan Ekologis dan Gerakan Teologis
Selain itu, peningkatan penggunaan AI turut berkontribusi terhadap bertambahnya volume limbah elektronik – isu lingkungan yang semakin mendesak beberapa tahun terakhir.
Perangkat elektronik yang digunakan dalam teknologi AI, mengandung berbagai bahan kimia berbahaya, termasuk timbal, merkuri, dan kadmium.
Apabila limbah ini tidak dikelola dengan benar, zat-zat tersebut dapat mencemari tanah dan air, serta menimbulkan risiko serius bagi kesehatan manusia dan ekosistem.
Baca Juga: Kecemasan Ekologi: Polusi Sampah dan Perubahan Iklim
Terkait limbah elektronik, laporan yang dirilis United Nation for Training and Research, International Telecommunication Union dan The Foundation Carmignac bertajuk “Global E-Waste Monitor 2024”, melaporkan bahwa terjadi peningkatan signifikan dalam produksi limbah elektronik global dari 34 miliar kg pada tahun 2010 menjadi 62 miliar kg pada tahun 2022.
Tren ini diproyeksikan terus meningkat dan mencapai 82 miliar kg pada tahun 2030. Pertumbuhan limbah elektronik yang sangat signifikan tersebut, tak terlepas dari kemajuan teknologi, khususnya dibidang AI.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar