Sofifi, malutpost.com — Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Maluku Utara, Sarmin S Adam menyatakan kesiapan pihaknya untuk menerima berbagai catatan kritis terkait evaluasi serta perjalanan pengelolaan sektor kelautan dan perikanan selama ini.
Hal tersebut disampaikan dalam forum diskusi yang membahas arah kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan di Maluku Utara.
“Hal-hal itu semua tentu akan menjadi bahan evaluasi kami ke depan,” kata Sarmin, Minggu (6/7/2025).
Menurutnya, pembangunan sektor perikanan dan budidaya kelautan berbasis kawasan merupakan salah satu issue yang telah dimuat dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Maluku Utara.
Sarmin menegaskan bahwa konsep besar yang tengah dikembangkan mengacu pada penerapan ekonomi hijau (green economy) dan ekonomi biru (blue economy), yang kemudian dijabarkan dalam berbagai kebijakan turunan.
Ia menyebut, bahwa Maluku Utara memiliki potensi besar di bidang energi terbarukan, ekowisata berbasis laut-pesisir, serta perikanan berkelanjutan. Semua potensi tersebut akan menjadi domain utama dalam perumusan kebijakan pembangunan di masa mendatang.
Namun, Sarmin juga tidak menutup mata terhadap berbagai persoalan kompleks yang selama ini dihadapi oleh daerah dalam sektor kelautan dan perikanan.
“Kita sering sampaikan bahwa capture terhadap kompleksitas persoalan Malut yang kita hadapi saat ini adalah penangkapan ikan secara terukur yang belum optimal, produksi perikanan tangkap dan budidaya yang belum mencapai titik optimum, dan sulitnya nelayan mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) untuk melaut yang menyebabkan tingginya biaya operasional kapal,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti belum meratanya penyediaan pasar ikan, belum optimalnya pemanfaatan Pelabuhan Perikanan (PPI), serta lemahnya pengelolaan wilayah konservasi laut. Selain itu, keterbatasan permodalan bagi usaha di bidang kelautan dan perikanan masih menjadi kendala yang belum teratasi secara menyeluruh.
Permasalahan lainnya juga meliputi kurangnya sarana dan prasarana perikanan, maraknya praktik penangkapan ikan ilegal (illegal fishing), dan metode penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Di sisi lain, ekspor hasil perikanan dan produk olahan belum dimaksimalkan, begitu pula dengan upaya adaptasi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan yang berkaitan dengan ekosistem laut.
“Kami capture semua catatan ini dalam lima tahun terakhir sebagai bahan evaluasi dan diskusi bersama,” tambah Sarmin.
Secara khusus, dalam subsektor perikanan budidaya, Bappeda mencatat sejumlah kendala yang signifikan. Di antaranya adalah minimnya infrastruktur pendukung kegiatan budidaya, terbatasnya sumber daya manusia (SDM) yang terampil, serta keterbatasan anggaran daerah yang berdampak langsung pada kurangnya fasilitas untuk kegiatan budidaya.
Tak hanya itu, Sarmin juga menyinggung dominasi sektor pertambangan di Maluku Utara yang secara tidak langsung menyebabkan berkurangnya tenaga kerja yang tersedia untuk mengelola sektor perikanan budidaya.
“Keterbatasan anggaran sehingga dampaknya pada fasilitas yang belum memadai. Kemudian selanjutnya adalah ada dominasi sektor pertambangan saat ini yang telah menarik banyak pekerja sehingga kurangnya tenaga kerja untuk dapat mengelola perikanan budidaya,” tandasnya.
“Catatan ini kita cepture dalam perkembangan di lima tahun terakhir,” tambahnya.
Menurutnya, semua catatan kritis dan masukan yang ada akan menjadi dasar pertimbangan penting dalam menyusun kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang lebih adaptif dan berkelanjutan di masa depan. (nar)