Oleh: Witono Hardi
(Dosen Teknik Mesin Universitas Khairun Ternate Maluku Utara)
Dulu, proses penelitian sering kali terasa rumit dan menyita waktu. Salah satu tantangan terbesar adalah mencari referensi atau pustaka ilmiah yang relevan.
Di tengah lautan informasi yang tersebar di seluruh dunia, peneliti harus menyaring jutaan artikel, jurnal, dan laporan untuk menemukan topik sejenis yang sesuai dengan tema penelitiannya.
Bahkan setelah itu, masih ada tantangan lain yaitu memahami pendekatan yang digunakan peneliti sebelumnya, karena satu topik bisa dikaji dari berbagai sudut pandang dan metode yang berbeda.
Kini, kehadiran kecerdasan buatan (AI) menambahkan dimensi baru yang sangat membantu dalam dunia riset. AI mampu membaca, menganalisis, dan menyarikan ribuan dokumen ilmiah dalam waktu singkat.
Ia bisa membantu peneliti mengidentifikasi kesenjangan penelitian, membandingkan berbagai metode yang telah digunakan dalam studi serupa, hingga menyarankan pendekatan yang mungkin lebih efektif.
Dengan demikian, peneliti tidak lagi harus membaca satu per satu secara manual setiap dokumen untuk mengetahui relevansinya.
Bahkan dalam menyusun kesimpulan, AI dapat bertindak sebagai alat bantu: menyusun ulang argumen, menguji logika deduktif, atau memvisualisasikan data dengan lebih rapi dan komunikatif.
Baca Halaman Selanjutnya..
Dalam proses penelitian, ada sejumlah bagian penting yang harus dilakukan oleh peneliti sendiri dan tidak bisa digantikan oleh AI.
Salah satunya adalah perumusan masalah dan tujuan penelitian. Langkah ini menuntut pemahaman mendalam terhadap konteks, latar belakang, dan urgensi dari isu yang diteliti.
AI mungkin bisa membantu menyusun ulang kalimat atau memberi saran topik, namun keputusan tentang apa yang penting untuk diteliti tetap menjadi domain peneliti.
Selanjutnya adalah desain penelitian dan pemilihan metode. Menentukan apakah suatu penelitian akan bersifat kualitatif, kuantitatif, eksperimen, atau studi kasus membutuhkan intuisi akademik dan pengalaman lapangan.
AI bisa memberikan referensi metode yang sudah digunakan sebelumnya, namun penyesuaian terhadap konteks dan keterbatasan riset tetap memerlukan penilaian manusia.
Pengumpulan data juga merupakan tahap yang tidak bisa digantikan. Aktivitas seperti wawancara, observasi langsung, eksperimen di laboratorium, atau survei lapangan memerlukan kehadiran dan keterlibatan aktif peneliti.
AI tidak bisa menggantikan interaksi sosial maupun pengamatan yang bersifat kontekstual dan spontan. Analisis dan interpretasi data adalah bagian berikutnya yang tetap berada di tangan peneliti.
Baca Halaman Selanjutnya..
Walaupun AI mampu melakukan analisis statistik atau visualisasi data, makna yang dikandung oleh data tersebut hanya bisa ditafsirkan dengan mempertimbangkan latar belakang sosial, budaya, dan teori yang relevan.
Peneliti memiliki kapasitas untuk menilai mana yang bermakna secara ilmiah, bukan hanya secara teknis. Pertimbangan etis juga tidak bisa diserahkan kepada AI.
Isu seperti kerahasiaan data, persetujuan informan, dan dampak sosial dari temuan penelitian adalah wilayah yang membutuhkan nurani, tanggung jawab moral, dan kebijaksanaan, hal-hal yang tidak dimiliki mesin.
Dalam forum ilmiah seperti ujian atau sidang, peneliti harus mampu mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya. Di sinilah integritas, kejujuran, dan pemahaman mendalam diuji.
AI boleh saja membantu menyusun dokumen atau menyarankan referensi, tapi pemilik ilmu sejati tetaplah manusia yang memahami dan menguasai prosesnya dari awal hingga akhir.
AI hari ini adalah alat bantu yang luar biasa bagi peneliti. Ia mempercepat langkah, mempermudah proses, namun tetap menjadikan manusia sebagai pengendali utama dalam pencarian ilmu dan kebenaran ilmiah.
Ada hal konyol dalam dunia penelitian yang patut disorot yaitu demi mengejar “ketidakmiripan” atau persentase similarity serendah mungkin, sejak era Turnitin dan sejenisnya, para mahasiswa dan peneliti justru sibuk merekayasabahasa dengan teknik parafrase yang kadang merusak makna.
Baca Halaman Selanjutnya..
Lebih lucunya lagi, ada yang sampai menambahkan huruf putih tak kasat mata di antara kata agar sistem tidak mengenali kemiripan teks. Alih-alih fokus pada pemahaman dan orisinalitas ide, perhatian malah tercurah pada cara-cara mengakali algoritma.
Dosen tidak perlu bersikap anti-AI terhadap mahasiswa. Justru, mereka harus diajarkan tentang batasan-batasan penggunaan AI yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dengan demikian, mahasiswa dapat memahami etika dan tanggung jawab dalam menggunakan teknologi ini.
Selain itu, dosen juga harus melakukan ujian lisan pada bagian-bagian krusial untuk memastikan bahwa mahasiswa benar-benar memahami topik yang diteliti bukan hanya mengandalkan AI untuk mengerjakan tugas.
Jika mahasiswa mengerjakan tugas secara mandiri, mereka pasti dapat menjelaskan jawabannya dengan gamblang dan menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang topik yang dibahas. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 10 Juni 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/06/selasa-10-juni-2025.html