Oleh: Aton Bagaskara Jafar, S.Pd
(Guru Pendidikan Pancasila SMA Negeri 6 Halmahera Tengah)
“Pancasila adalah suatu alat pemersatu,
yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia
dari Sabang sampai Merauke hanya dapat bersatupadu di atas dasar Pancasila itu”
Ir. Soekarno
Ir. Soekarno pernah berkata bahwa dia bukan pencipta Pancasila, melainkan ia gali dari perut bumi Indonesia. Makna gali dari perut bumi Indonesia ialah keaslian nilai yang tumbuh, berkembang dan menguat di bumi Indonesia.
Sebuah nilai dengan warnah dan bauh khas ke-Indonesiaannya. Bukan sebuah nilai yang di pungut di udarah yang tidak tahu dari mana asalnya angin membawanya.
Ketika Ir. Soekarno mengatakan Pancasila ia gali dari perut bumi Indonesia bukan berarti nilai yang ia dapatkan hanya berdasarkan pengamatan dan renungan nilai yang ia temukan dipulau Jawa. Melainkan nilai universal yang hidup dan menguat di seantero Nusantara.
Sehingga saat Pancasila di usulkan sebagai dasar Negara pada tanggal 1 Juni 1945 tidak mendapat penolakan melainkan gemuru tepuk tangan sebagai bentuk mufakat atas usul yang disampaiakan. Kehadiran Pancasila disambut baik oleh berbagai kalangan; suku, agama, ras dan antar golongan.
Walaupun dalam perjalanannya sila pertama masi dipersoalkan mengenai tujuh kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Namun masalah ini berakhir di tanggal 18 Agustus 1945 setelah diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan diterima secara keseluruhan tanpa ada yang memberatkan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Di Pulau Halmahera khususnya Haltim dan Halteng, yang dulu keduanya dikenal dengan sebutan Gamrange atau tiga negeri bersaudara; Maba, Patani dan Weda ada suatu nilai yang senafas dengan Pancasila, yang disebut dengan Fagogoru.
Dalam arti sempit Fagogoru berarti menyayangi. Konsep menyayangi ini yang kemudian meluas dengan menggerakkan perilaku dan ucapan warganya dengan nilai cinta dan kasi sayang.
Dalam masyarakat Gamrange iplementasi nilai Fagogoru diuraikan lebih luas pada kalimat “ngaku re rasai, budi re bahasa, sopan re hormat, mtat re memoi.” Kalimat ngaku re rasai mengartikan berpengakuan sebagai saudara, dan berpengakuan ini disaksikan oleh Allah.
Pengakuan persaudaraan ini melibatkan Tuhan didalamnya sehingga pengakuain ini dilakukan dengan serius dan penuh kesadaran. Pengakuan persaudaraan dibarengi dengan perilaku yang menjunjung tinggi nilai budi re bahasa, yang menuntun agar selalu berkata yang baik-baik.
Agar tidak menyakiti perasaan dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta dilengkapi dengan nilai sopan re hormat yang mengharuskan untuk selalu berperilaku baik, adil dan bijaksana.
Serta disempurnakan dengan nilai mtat re memoi yang mengartikan untuk takut dan malu jika melakukan perbuatan yang tidak terpuji atau bertentangan dengan norma agama.
Nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat Gamrange ini di demonstrasikan pada acara memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW dengan cara duduk berhadapan dengan orang atau soa/kelompok adat yang dianggap sebagai saudara sejati dan kegiatan ini disebut dengan fakela atau faften.
Baca Halaman Selanjutnya..
Ada juga dengan cara memberi sesuatu kepada orang atau soa/kelompok adat yang dianggap sebagai saudara sejati dan ini yang disebut dengan fantene.
Uniknya semangat kekeluargaan ini diabadikan dalam dialog syiar Islam leluhur Maba, Patani dan Weda. Leluhur Maba mengatakan “kabe aice mo Were ten poloniga fdel mo Were telama” yang artinya saat arus Weda bergerak balik, ikut arus Weda balik.
Leluhur Weda pun menjawab “suba jou pane posnie mauludga kpolongame” yang artinya, saya nanti jika tidak ada halangan Maulid nabi saya ikut balik.
Leluhur Patani pun menjawan “suba jou kabe fsiling fpolonmew lama, bot pei malud na Poton” yang artinya saat kalian ingat balikla kesini, kita rayakan Maulid Nabi di Patani.
Dari kehangatan persaudaraan, kekeluargaan membentuk masyarakat yang berbudaya, masyarakat yang menghidupkan nilai-nilai musyawarah, kemanusiaan, persatuan, ketuhanan dan keadilan.
Pada masyarakat Haltim-Halteng sangat mudah dijumpai aktifitas yang berkaitan dengan musyawarah tingkat keluarga, pada pertemuan tersebut biasanya membahas tentang perkawinan atau acara lain yang memang dirasa menjadi tanggung jawab bersama.
Disini setiap individu atau kelopok berperan bagaikan pahlawan dalam menyelesaikan masalah, sehingga peran-peran yang dilakukan semakin memperkuat hubungan kekeluargaan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Peran yang dilakukan sebagai rasa empati akan permasalahan yang terjadi dalam keluarga biasanya muncul pada orang yang berbeda-beda. Sehingga peran yang dilakukan setiap individu atau kelompok terus berganti.
Perilaku ini terus berlanjut dalam kehidupan masyarakat; saling membantu sehingga memperkuat semangat kekeluargaan yang memperkokoh persatuan, serta memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Selain dari uraian diatas yang dikhususkan mencocokkan nilai-nilai dasar Pancasila yang relefan dengan nilai-nilai fagogoru. Perlu dikhususkan mengenai gotong royong yang menjadi intinya Pancasila.
Karena Ir. Soekarno sendiri perna berkata bahwa Pancasila yang memuat lima dasar ini dapat diperas menjadi tiga, yang disebut dengan Trisila dengan kandungan didalanya Sosionasionalisme, Sosiodemokrasi dan Ketuhanan.
Jika tidak suka dengan angka tiga maka Ir Soekarno bisa peras tiga menjadi satu, yang disebut dengan Ekasila yang kandungan di dalamnya adalah gotong royong.
Dari penjelasan Ir Soekarno ini dengan sendirinya menerangkan kepada kita bahwa substansi dari Pancasila adalah gotong royong. Dan harus kita akui bahwa gotong royong suda membudaya di seanteru Nusantara.
Umumnya masyarakat Maluku Utara jika ada acara perkawinan, dan hajatan orang meninggal atau hajatan lainnya pemuda akan mendirikan tenda, ambil kayu bakar, dan lain-lain. Begitu juga dengan ibu-ibu. Membuat kue, membuat makanan dan minuman, dan ini diistilahkan dengan leleyan atau babari.
Baca Halaman Selanjutnya..
Gotong royong didasarkan pada keiklasan, tidak mengharapkan upah atau balasan. Semata-mata dilakukan untuk meringankan pekerjaan yang berat menjadi mudah. Menunjukan rasa solidaritas dan empati yang dapat berdampak pada hubungan social yang baik kedepannya.
Nilai-nilai moral yang memperkuat hubungan kekeluargaan dan terawat dengan baik harus kita perkenalkan pada dunia, jangan hanya terbatas pada suatu wilayah dan dunia tidak tahu.
Karena nilai moral yang kita miliki sebagai representasi identitas watak dan karakter. Kita harus tunjukkan kita bangsa yang beradab, bangsa yang bermoral.
Ir Soekarno suda memperkenalkan Pancasila di dunia internasional, dan memberikan gambaran tentang jiwa ke-Indonesaan yang menolak penjajahan di antas dunia karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan; uraian ini tertulis abadi pada pembukaan UUD NRI 1945. Dan uraian ini pastinya senafas dengan nilai-nilai fagogoru.
Sehingga dunia internasioanl mengetahui betul Indonesia dengan semangat kemanusiaannya, bersamaan dengan berbagai tanggung jawab yang diberikan oleh PBB kepada Indonesia untuk menjadi pelopor kemanusiaan dengan pasukan garudanya di berbagai Negara yang sedang berkonflik.
Olehnya itu kita harus mempertegas Pancasila sebagai warisan bersama yang lahir dari nilai-nilai yang tumbuh di seluruh pelosok negeri Indonesia. Pancasila jangan sampai hanya menjadi sekedar slogan yang tidak direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Harus kita bumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, sebagai weujud melestarika nilai-nilai luhur. Pancasila adalah identitas bersama yang abadi sampai dunia berakhir. Merdeka!!! (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 3 Juni 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/06/selasa-3-juni-2025.html