“Paradigma Hukum dan Realitas: Masyarakat Adat, Penjaga Warisan Budaya, dan Ancaman Korporasi”

Ketika petani atau masyarakat adat yang membawa alat kerja sehari-hari seperti parang atau pisau yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka dituduh melakukan premanisme atau membawa senjata tajam saat berdemonstrasi menuntut hak.

Maka kita patut bertanya: untuk siapa hukum ini bekerja? Apakah hukum telah menjadi alat untuk membungkam suara-suara perlawanan terhadap ketidakadilan?

Sudah saatnya kita kembali merenungkan akar hukum kita. Hukum bukan sekadar alat untuk menertibkan, apalagi untuk menindas. Hukum adalah cerminan dari nilai-nilai luhur suatu bangsa, dan bangsa ini dibangun di atas keberagaman serta penghargaan terhadap kearifan lokal.

Masyarakat adat dan tanah ulayat mereka adalah warisan tak ternilai yang harus dijaga, bukan dikorbankan demi kepentingan korporasi semata.

Oleh karena itu, penegakan hukum harus berpihak pada keadilan substantif. Aparat penegak hukum harus sensitif terhadap kompleksitas sosial dan budaya masyarakat adat. Hakim harus mampu melihat lebih dari sekadar teks undang-undang, namun juga spirit keadilan dan hak asasi manusia.

Hanya dengan demikian, hukum kita dapat menemukan relevansinya dalam melindungi masyarakat adat, menjaga warisan budaya, dan memastikan bahwa pembangunan tidak merenggut, melainkan memuliakan kehidupan. (*)

Selanjutnya 1 2 3

Komentar

Loading...