Site icon MalutPost.com

Kosmologi Perlawanan Masyarakat Adat Wayamli

Ucok S Dola

Oleh: Ucok S Dola

Jejak sejarah yang ditinggalkan para petuah kampung menjadi tradisi serta spirit untuk terus melestarikan kebudayaan lokal di tengah gempuran Industri Ekstraktiv. Wayamli adalah sebuah Desa yang dulu dikenal dengan sebutan “Yawanli” yang berarti Pohon Beringin.

Tempat ini merupakan tempat awal persinggahan kelompok keluarga dari kedua bersaudara, sang kakak (Maratana) dan sang Adik (Mawawas).

Ketika meninggalkan belantara gunung Isalei dan Isalao setelah diangkat-nya Maratana sebagai Gimalaha Ngofa Nyira oleh Jou Tidore dengan romobonganya dalam pertemuan di sebuah Pantai Watang.

Akan tetapi, Mawawas lebih memilih tetap tinggal di Belantara Gunung, sebab ia tidak terbiasa melihat pesisir pantai dan lautan  yang luas serta  Talaga, karena akan merasa pusing.

Awalnya, kedua bersaudara ini menyusuri bukit Watan dengan seekor anjing berburu. Mereka berdua kemudian mengikuti arah berlari dari anjingya menyusuri kaki bukit watan dan sampai pada titik berhentinya anjing tersebut.

Mawawas mengajak kakaknya turun dari bukit dan menyusuri ke pesisir pantai watan. Mereka melihat betapa luasnya Lautan atau Telaga.

Di wilayah watan bahkan seluruh pesisir pantai mulai dari semenanjung Jara-Jara sampai Tanjung Bus-Bus, Era Pat Guwa dan sekitarnya ketika itu belum ada orang yang mendiami atau hidup di Daerah tersebut.

Bagi orang Wayamli, kedua bersaudara tersebut yang pertama kali mendiami pesisir pantai tersebut, hal ini diperoleh dari cerita para leluhur hingga turun temurun sampai sekarang.

Baca Halaman Selanjutnya..

Bermula dari berburu hewan di sekitar hutan Isalei dan Isalao, kemudian ke bukit Watan, Pesisir Waibbu dan pesisir pantai sekitarnya.

Kehidupan sosial budaya di Desa Wayamli dalam menjalani kehidupan mereka di Belantara Gunung Isalei dan Isalau adalah berburuh.

Namun setelah mereka keluar dan menempati kehidupan di Pesisir, secara perlahan-lahan aktivitas berburuh mulai hilang dan digantikan dengan Nelayan serta Bertani.

Dari sinilah, terbentuknya Desa dengan Kelompok masyarakat adat yang memiliki Pemimpin didalamnya, untuk terus menjaga amanah juga tanggungjawab secara kebudayaan dalam melestarikan Sumberdaya serta Potensi yang dimiliki di Wilayah Adat Wayamli dan mewarisinya kepada Generasi yang akan datang.

Sementara itu, gejolak yang terjadi baru-baru ini atas intervensi Negara terhadap perjuangan Masyarakat Adat dalam mempertahankan Wilayahnya melawan PT Sembaki Tambang Sentosa (STS) dengan pelanggaranya “Penyerobotan lahan tanpa sosialisasi” menjadi tragedi bagi kehidupan masyarakat adat.

Sebuah gerakan yang dilakukan warga sebanyak tiga kali pada bulan April, tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Adapun jalur penyelesaian yang telah dilakukan oleh Pihak Pemerintah Derah dan Forkopimda dinilai warga tidak efektif karena mengesampingkan hak-hak adat.

Tak hanya itu, ada sekitar 14 Warga dilaporkan oleh pihak Perusahaan (PT STS) kepada POLDA Maluku Utara (Rabu, 16 Mei 2025) atas tuduhan membawa Senjata Tajam (Sajam) saat melakukan Aksi Unjuk Rasa pada 21 April 2025 (Kadera, 15 Mei 2025).

Namun berdasarkan keterangan warga, Senjata Tajam (Parang) yang dibawa oleh warga karena mereka ingin membersihkan perbatasan yang telah serobot oleh pihak perusahaan, tidak bermaksud untuk melakukan Peristiwa yang Naas.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selain itu, mereka menganggap bahwa ini adalah luapan emosional karena kecintaan mereka terhadap Alam yang dijaganya dari para leluhur yang kini dianggap telah dilucuti oleh pihak perusahaan.

Beberapa lainya mengatakan bahwa, jika kami memiliki niat seperti yang dituduhkan maka sudah pasti ada korban dari pihak perusahaan yang berjatuhan, tetapi kami sadar betul bahwa itu akan memperumit perjuangan mereka nantinya ketika ingin mempertahankan hak-hak adat mereka.

Dari peristiwa ini, kekecewaan warga adat terhadap institusi kepolisian mulai hilang, karena dianggap tidak ada keberpihakan terhadap masyarakat.

Jika dilihat dari setiap pelanggaran yang ada, PT STS justru lebih banyak melakukan pelanggaran dibandingkan oleh warga yang hanya merebut kunci mobil kerja dari perusahaan, membongkar tenda dan lain-lain dengan alasan yang jelas.

Tetapi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak perusahaan mulai dari tidak ada Amdal dan ijin lingkungan, penyerobotan lahan warga tanpa sosialisasi.

Tanpa Andalalin, Gunakan Wilayah pesisir tanpa ijin, Pelanggaran Wilayah Adat, Langgar Kesepakatan Forkopimda, dan Tambang di Luar Izin Usaha (IUP)  yang dirilis oleh Salawaku Intitute (25 April 2025), justru sangat ironis jika di diamkan.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut dari perusahaan justru tidak digubris oleh pihak penegak hukum (Kepolisian), dan ini membuat warga semakin resah atas intervensi negara yang dianggap lebih berpihak pada kelompok yang beruang, daripada berpihak pada hukum yang sebenarnya.

Terlepas dari itu, perjuangan masyarakat adat ini merupakan sebuah alaram yang patut di ingat, bahwa dalam catatan sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, masyarakat Maluku Utara mampu mengusir bangsa Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris dengan kekuatan Adat dari Empat Kerajaan di Moloku Kie Raha.

Maka negara setidaknya memberikan penghargaan bagi masyarakat adat untuk terus menjaga dan mempertahankan wilayah-nya yang sejak dahulu diwarisi oleh leluhurnya. Sebab masyarakat masih terus mematuhi kebijakan negara dengan membayar pajak serta kewajiban-kewajiban lainya. (*)

Exit mobile version