Oleh: Muhammad Ruh Marsaoly
(Pegiat Filsafat, lingkungan dan Kebudayaan)
Di Sangaji Maba, Halmahera Timur, sejarah tidak berjalan di atas keadilan. Bukan karena rakyat melupakan asal-usulnya, tapi karena negara memilih berpaling.
Di tanah yang diwarisi turun-temurun, masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan alam kini menghadapi aparat yang datang bukan untuk melindungi, melainkan menertibkan. Bukan untuk menjembatani suara rakyat, tetapi untuk menyingkirkannya dari ruang hidup mereka.
Aparat datang bukan sebagai wajah hukum yang netral, tapi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan dan modal. Mereka membawa senjata, bukan solusi.
Ketika polisi berdiri menghalangi rakyat yang mempertahankan tanah leluhur, sementara perusahaan dibiarkan leluasa menggali, maka negara secara terang-terangan mengorbankan rakyat demi investasi.
Kita diajari bahwa negara berdiri untuk melindungi. Tapi di Sangaji, yang terlihat justru sebaliknya. Di sana, hukum bukan alat keadilan, tetapi alat perampasan.
Izin yang dikeluarkan dari pusat berubah menjadi senjata legal untuk mencabut hak atas tanah adat. Dan ketika rakyat bersuara, aparat bukan hadir sebagai penengah, melainkan algojo untuk mengamankan proyek.
Negara yang Membelah Diri
Filsuf Michel Foucault pernah mengatakan, kekuasaan modern bekerja lewat lembaga yang tampak netral. Namun di Sangaji, kekuasaan itu tidak lagi tersembunyi. Ia berdiri terang dalam barisan aparat, dalam kawat berduri, dalam intimidasi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Negara tidak hanya abai, ia aktif membelah dirinya: satu tangan menjanjikan hak masyarakat adat dalam konstitusi, tangan lain menyerahkan tanah mereka pada perusahaan tambang.
Beginilah wajah negara yang tumbuh dengan luka. Janji keadilan ditulis dalam dokumen, namun yang tiba di lapangan adalah ketakutan. Dan luka yang terus dibiarkan terbuka itu perlahan berubah menjadi dendam diam—warisan getir yang mungkin akan melampaui generasi ini.
Kapitalisme dan Perampasan
David Harvey menyebutnya “accumulation by dispossession” kapitalisme yang tumbuh dari perampasan. Di wilayah timur Indonesia, siklus ini berulang: korporasi datang membawa izin, rakyat menolak, lalu aparat dikirim untuk meredam.
Yang dipertahankan warga bukan sekadar lahan, tapi ruang hidup. Tempat leluhur dimakamkan, tempat anak-anak belajar membaca musim dan mengenali tumbuhan. Tapi negara melihat semuanya hanya sebagai angka: nilai logam, potensi ekspor, target pertumbuhan.
Aparat pun berperan sebagai pelumas roda kapital. Mereka tidak sekadar mengamankan konsesi, tapi membatasi gerak warga, menangkap yang bersuara. Demi investasi, kehidupan digilas.
Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar tempat berpijak. Ia adalah identitas, ingatan, dan penuntun arah hidup. Saat tanah dirampas, seluruh sistem makna runtuh. Hutan tempat mencari obat lenyap.
Sungai tempat upacara berubah keruh. Makam leluhur diusik. Semuanya tergerus kekuatan yang datang membawa dokumen, aparat, dan dalih pembangunan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Negara tidak memahami makna tanah bagi masyarakat adat. Ia memperlakukannya seperti komoditas: bisa diukur, dijual, diamankan dengan senjata.
Ketika masyarakat menolak tambang, mereka disebut “tidak produktif”, “tidak rasional”. Padahal mereka tengah mempertahankan kehidupan yang utuh.
Netralitas yang Mustahil
Netralitas dalam konflik seperti ini adalah kemewahan palsu. Ketika Polda Maluku Utara terus menempatkan aparat untuk menjaga tambang dan mengawasi masyarakat, namun diam terhadap pelanggaran perusahaan, maka klaim netralitas adalah kedok.
Desmond Tutu berkata: “Jika kamu netral dalam ketidakadilan, kamu telah memilih pihak penindas.” Dan hari ini, aparat di Sangaji sudah memilih.
Polisi tak bisa terus berlindung di balik dalih “tugas negara”. Karena tugas itu pun harus diukur dengan nurani dan keadilan. Bila hukum dijalankan untuk membungkam, maka ia kehilangan legitimasi.
Pilihan Moral dan Catatan Sejarah
Polda Malut masih punya kesempatan untuk berpihak pada kebenaran. Yang mereka hadapi bukan kriminal, melainkan warga yang mempertahankan tanah, sejarah, dan keberadaan mereka.
Menyebut mereka penghambat pembangunan adalah kebohongan. Karena pembangunan sejati tak bisa dibangun di atas pengusiran dan kekerasan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Masyarakat adat bukan hambatan. Mereka adalah penjaga terakhir dari alam yang tersisa. Melindungi mereka bukan menolak ekonomi, tapi memilih arah pembangunan yang adil.
Sejarah bangsa ini mencatat bahwa ketika negara berpihak pada modal dan meninggalkan rakyat, selalu lahir luka antargenerasi.
Jangan ulangi kesalahan itu. Jangan biarkan aparat hanya menjadi bayang-bayang kekuasaan. Karena kelak, saat generasi mendatang membuka lembar sejarah, mereka akan bertanya: di pihak mana negara berdiri? (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Rabu, 21 Mei 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/05/rabu-21-mei-2025.html