Aparat yang Mengabdi pada Pemodal

Negara tidak hanya abai, ia aktif membelah dirinya: satu tangan menjanjikan hak masyarakat adat dalam konstitusi, tangan lain menyerahkan tanah mereka pada perusahaan tambang.
Beginilah wajah negara yang tumbuh dengan luka. Janji keadilan ditulis dalam dokumen, namun yang tiba di lapangan adalah ketakutan. Dan luka yang terus dibiarkan terbuka itu perlahan berubah menjadi dendam diam—warisan getir yang mungkin akan melampaui generasi ini.
Kapitalisme dan Perampasan
David Harvey menyebutnya “accumulation by dispossession” kapitalisme yang tumbuh dari perampasan. Di wilayah timur Indonesia, siklus ini berulang: korporasi datang membawa izin, rakyat menolak, lalu aparat dikirim untuk meredam.
Yang dipertahankan warga bukan sekadar lahan, tapi ruang hidup. Tempat leluhur dimakamkan, tempat anak-anak belajar membaca musim dan mengenali tumbuhan. Tapi negara melihat semuanya hanya sebagai angka: nilai logam, potensi ekspor, target pertumbuhan.
Aparat pun berperan sebagai pelumas roda kapital. Mereka tidak sekadar mengamankan konsesi, tapi membatasi gerak warga, menangkap yang bersuara. Demi investasi, kehidupan digilas.
Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar tempat berpijak. Ia adalah identitas, ingatan, dan penuntun arah hidup. Saat tanah dirampas, seluruh sistem makna runtuh. Hutan tempat mencari obat lenyap.
Sungai tempat upacara berubah keruh. Makam leluhur diusik. Semuanya tergerus kekuatan yang datang membawa dokumen, aparat, dan dalih pembangunan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar