Kalah Pilgub, Balas Lewat Angket?

Karena jika pemerintah terus menerus diganggu dan diadang oleh angket, serta tarik menarik kepentingan, maka sebagai konsekuensinya demokrasi lokal akan mandek pada perselisihan elit.
Akan kelihatan elok jika hak angket hendaknya dijadikan sebagai jalan terakhir dari kebuntuan tahapan mekanisme pengawasan. Dan bukan sebagai senjata pertama gedung parlemen. Sebab demokrasi akan bekerja ketika adanya dialog dan komunikasi, bukan konfrontasi.
Akhirnya, jika parlemen lebih memilih jalan konflik sejak awal pemerintahan, maka yang dirugikan bukan hanya eksekutif, tetapi seluruh rakyat Maluku Utara yang mengharapkan stabilitas dan pelayanan publik yang optimal.
Pelajaran Bersama
Dari sini kita sudah seharusnya belajar tentang pentingnya penguatan budaya politik lokal yang lebih matang. Dalam artian, demokrasi bukan hanya sebatas menang dan kalah dalam kontestasi politik yang sifatnya momentual.
Melainkan tentang sikap “rela” dalam pengertian bagaimana semua pihak bisa menerima hasil kontestasi dengan dewasa. Serta tetap menjalin kolaborasi dalam rangka pembangunan daerah.
Tantangan ini sebenarnya harus dijawab tidak hanya oleh elit-elit politik lokal saja. Melainkan oleh semua kalangan. Oleh pimpinan tertinggi Maluku Utara yakni Gubernur Sherly Tjoanda dan Wagub Sarbin Sehe sebagai pemimpin baru. Juga oleh DPRD, masyarakat sipil dan media sebagai pengawal demokrasi.
Sebab jika tidak, demokrasi lokal hanya akan menjadi prosedur kosong tanpa semangat partisipatif dan keadilan substantif. Wallahualam. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 6 Mei 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/05/selasa-6-mei-2025.html
Komentar