Kalah Pilgub, Balas Lewat Angket?

Tantangan Demokrasi Lokal
Dalam sistem demokrasi, hak angket merupakan instrument paling kuat yang dimiliki oleh legislatif. Ia sebagai mekanisme formal untuk mengontrol dan menguji pelbagai kebijakan ataupun tindakan pemerintah yang dianggap melenceng dari kepentingan publik ataupun melanggar hukum.
Namun, fungsi tersebut harus dijalankan dengan niat untuk menjaga stabilitas pemerintahan, bukan untuk menggerogoti.
Ini mengingatkan kita pada Robert Dahl dalam “Democracy and Its Critics (1989)” bahwa keberlangsungan demokrasi tidak hanya ditentukan oleh prosedur, tetapi juga dari komitmen terhadap fair play dan saling menghormati mandat rakyat.
Apabila semangat ini tidak dijaga, maka yang terjadi adalah demokrasi lokal hanya menjadi pertarungan elit. Bukan lagi sebagai ruang aktualisasi kehendak rakyat.
Kasus ini meperlihatkan bahwa demokrasi lokal kita nampaknya masih belum sepenuhnya terbebas dari rivalitas personal antar kubu-kubu politik. Pun juga sangat rentan terhadap manipulasi elit politik.
Demokrasi lokal sebagaimana didefinisikan Dahl menjadi arena di mana warga dan wakil-wakilnya bisa bersama mengelola kepentingan publik dengan rasionalitas dan keterbukaan, yang terjadi malah representasi rakyat terjebak dalam konflik elektoral.
Maka agaknya tidak berlebihan bahwa fenomena “angket premature” ini menjadi cerminan bahwa aktor-aktor politik lokal tidak menjalankan peran mereka sebagai penjaga konstitusi. Justru sebagai perpanjangan tangan kelompok yang kalah.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar