Oleh: Petra Wahyu Utama
(Dosen Ilmu Sejarah FIB Unkhair)
Beberapa waktu ini, beredar luas di media sosial hastag #kaburajadulu yang digemakan oleh generasi muda. Fenomena ini muncul karena rasa frustasi terhadap kondisi ekonomi dan kualitas hidup di Indonesia.
Sulitnya mencari pekerjaan, rendahnya upah, dan ketimpangan sosial menjadi pemicu utama. Banyak juga yang menyerukan tentang kondisi pendidikan di Indonesia.
Mulai dari buruknya sistem pendidikan, biaya mahal, hingga gaji tukin yang bermasalah. Belum lagi larangan pengecer menjual tabung gas LPG 3 kg bersubsidi dan membuat kelangkaan di beberapa daerah. Masyarakat pun kian gerah.
Mereka yang mendapat kesempatan untuk bekerja dan hidup di luar negeri kemudian ramai-ramai meninggalkan Indonesia dan mengampanyekannya melalui postingan di media sosial. Ini bukan hanya sekedar keluh kesah dan tidak dapat dipandang sebelah mata.
Jika tidak direspon dengan baik oleh pemerintah, tentu mengakibatkan individu berpendidikan tinggi dan terampil akan meninggalkan Indonesia demi kehidupan yang lebih layak di luar negeri.
Harapan untuk Hidup Lebih Layak
Pada akhir Desember 2024 tagar “kabur aja dulu” mulai muncul dan menjadi ruang diskusi di media sosial. Mulanya berisikan tentang tips-tips bagaimana mendapatkan pekerjaan di luar negeri.
Semakin hari, diskusi semakin ramai dan berubah menjadi manifestasi kekecewaan kolektif generasi muda terhadap kondisi dan harapan hidup mereka bila terus tinggal di Indonesia.
Baca Halaman Selanjutnya..
Harga kebutuhan pokok yang terus meningkat, UKT yang semakin mahal, sulitnya mencari pekerjaan setelah lulus, rendahnya upah, minimnya fasilitas kesehatan, tingginya angka kriminalitas dan pajak, hingga penyelewengan yang kerap dilakukan oleh aparat ataupun pejabat.
Itu semua kemudian menjadi diskusi yang semakin serius di media sosial. Realita tersebut kemudian membentuk rasa pesimis dan skeptis terhadap kelangsungan hidupnya di Indonesia sehingga semakin banyak pemuda yang kemudian memutuskan untuk pergi dan mencari peruntungan di luar negeri.
Mereka yang memutuskan untuk hijrah ke luar negeri rata-rata berada di usia produktif antara 25 hingga 30 tahun dengan talenta terampil dan berpendidikan tinggi.
Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah brain drain. Mereka memilih pindah ke negara lain, bahkan berganti kewarganegaraan, demi meraih standar hidup, pendidikan, dan jenjang karier yang lebih baik di luar negeri.
Perlu diketahui bahwa menurut data terakhir yang dikeluarkan BPS pada Agustus 2024, rata-rata gaji pekerja di Indonesia berkisar pada 3,27 juta rupiah. Sudah tentu, angka tersebut jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sandang, pangan, dan papan.
Beberapa video kemudian viral dan mendorong generasi muda untuk meninggalkan Indonesia. Video itu antara lain Kades Sukamulya bernama Dodi yang mundur dari jabatannya dan memilih untuk bekerja di Jepang; video tiktok dari akun Alvin’s Learning Diary yang membagikan kisahnya mundur dari PNS dan pindah ke Jerman.
Video itu bahkan mendapatkan 80 juta like; konten kreator Indonesia yang berada di luar negeri untuk studi atau bekerja seperti Bima Yudho, Ikam, Julio, dan lain-lain juga gencar memberikan rekomendasi negara-negara mana yang sepadan untuk dijadikan tujuan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Bahkan, beberapa dari generasi yang jauh lebih tua sebagai contoh mantan artis Tengku Firmansyah yang beralih profesi menjadi tukang las di Kanada pun membagikan kehidupannya di luar negeri.
Itu semua ternyata memotivasi anak-anak muda untuk mengikuti jejak dari pendahulunya. Dr. Yoga Permana dalam wawancaranya dengan Rosi Silalahi mendapati fakta bahwa ada mahasiswanya yang baru lulus dari ITB sudah mengirimkan 500 lamaran kerja yang semuanya ditujukan kepada perusahaan di luar negeri.
Ternyata tagar tersebut begitu berpengaruh dan yang membuat terhenyak ketika ditanya, lulusan baru tersebut mengungkapkan bahwa pajak dari hasil kerjanya lebih rela diberikan kepada negara asing yang menerimanya kerja, dibanding harus bekerja di Indonesia yang pajaknya tidak terlihat nyata, serta lebih banyak digunakan untuk membiayai gaya hidup para pejabatnya.
Sengkarut Tata Kelola Pemerintahan
Fenomena pindahnya generasi muda ke luar negeri ini tidak boleh dipandang sepele. Pemerintah harus cermat bahwa mereka yang pindah itu adalah masyarakat yang berpendidikan dan memiliki keterampilan. Sudah pasti, golongan ini sudah mengalami senandika sebelum memutuskan untuk hijrah ke luar negeri.
Menteri Bahlil kemudian mempertanyakan jiwa nasionalisme mereka yang beramai-ramai pindah ke luar negeri dan pindah kewarganegaraan. Pernyataannya justru menjadi bumerang, banyak netizen yang mempertanyakan balik.
Lebih tidak nasionalis mana, pejabat yang mengeluarkan kebijakan pembatasan LPG 3 kg kemudian menyebabkan antrian panjang sehingga memakan korban jiwa akibat berdesak-desakan? Ataukah langkah mereka yang tidak merugikan siapapun?
Lain hal ketika Prof. Rhenald Kasali memandang bahwa fenomena ini harus ditanggapi secara serius. Menurutnya manusia berhak menentukan pilihan hidup, jikalau tempatnya tidak memungkinkannya berkembang dan memberi ladang to earn their living. Mereka yang pergi itu rata-rata kelas menengah yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Pernyataan itu tentu menjadi tamparan bagi pemerintah. Selama ini perbaikan dari berbagai sektor yang diharapkan oleh masyarakat tak kunjung makbul. Ketidakpastian hukum, kebijakan politik yang memihak, ketimpangan ekonomi, hingga pendidikan yang semakin mahal masih lazim terlihat di sekitar kita.
Pertanyaannya, apakah kabinet gemuk, efisiensi anggaran, dan makan bergizi gratis menjadi solusi untuk mengatasi semua masalah itu? Nyatanya, masih banyak masyarakat yang berdemo untuk menuntut haknya.
Unjuk rasa aliansi dosen yang menuntut tukinnya untuk dibayarakan, pegawai honorer mulai dari guru, tenaga kesehatan, dan teknis administrasi yang menuntut kejelasan nasibnya, demo sopir truk di Pelabuhan Tanjung Priok, hingga tuntutan massa untuk menghapus hak imunitas kejaksaan.
Fenomena #kaburajadulu perlu dimaknai sebagai bentuk protes generasi muda atas ketidakbecusan pemerintah menciptakan sebuah sistem meritokrasi yang baik. Bagi mereka pindah ke luar negeri sangat bisa dilakukan, baik itu untuk studi atau bekerja.
Terlebih langkah itu juga dapat menumbuhkan global dexterity yaitu kemampuan untuk beradaptasi dengan kultur yang berbeda-beda tanpa harus kehilangan jati diri. Bukan karena tipisnya nasionalisme semata.
Namun demikian, mereka perlu untuk memperhatikan kondisinya masing-masing dan mempersiapkan diri dengan kemampuannya serta waspada terhadap penipuan.
Jangan sampai pindah ke luar negeri, menjadi jalan pintas atau latah seperti yang sudah-sudah. Banyak yang ramai-ramai pindah ke Kamboja dan terjebak menjadi admin judi online atau nekat pergi ke luar negeri dan berakhir sebagai korban human trafficking. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Senin, 17 Februari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/02/senin-17-februari-2025.html