Site icon MalutPost.com

Mengenang Gempa Bumi dan Tsunami Ambon 1674, Sebuah Pelajaran Membangun Masyarakat Tsunami Ready

Oleh: Suci Dewi Anugrah
(Ketua Tim Kerja Mitigasi Tsunami Samudera Hindia dan Pasifik BMKG Chair Tsunami Ready Community Working Group for Indian Ocean)

Tsunami Ambon 1674:  Sepenggal Catatan Berharga Zaman Kolonial

Ambon, sebuah pulau kecil yang cantik di Laut Banda Maluku, yang sudah terkenal dengan keindahan dan hasil alamnya sejak zaman kolonial. Penduduknya, Nona dan Nyong Ambon, juga sangat dikenal dengan rupa manisnya yang pandai bernyanyi dan menari.

Sehingga sering kita dengar julukan “Ambon Manise”, untuk memuja Pulau Ambon yang cantik dan penduduknya yang rupawan. Dibalik cerita indah Ambon, adalah sebuah kisah pilu, yang kiranya perlu menjadi pembelajaran Masyarakat Ambon, menjadi bekal kesiapsiagaan masa kini dan masa datang.

Hari itu, tiga setengah abad yang lampau, tepatnya Sabtu, 17 Februari 1674, ramai keturunan China di Ambon akan merayakan Tahun Baru Imlek.

Tetapi malam harinya menjelang pergantian malam tahun baru cina, sekitar Pukul 19.30 WITA, guncangan kuat membuat panik masyarakat Ambon.

Dahsyatnya guncangan gempa membuat hampir semua orang mengira hari itu merupakan Hari Kiamat karena menyebabkan tanah yang terbelah dan bukit runtuh tiba-tiba. Kekuatan gempa juga telah membangkitkan tsunami yang dahsyat utamanya di pesisir Utara Pulau Ambon.

Adalah Georg Everhard Rumpius, seorang ilmuwan botani Belanda yang sangat gemar menulis seluruh hasil pengamatannya dengan detil. Pun saat terjadi gempabumi Ambon 1674, Rumpius yang saat itu berada di Ambon, menuliskan peristiwa dahsyat tersebut dengan baik.

Baca Halaman Selanjutnya..

Tulisannya kemudian berhasil diterbitkan pada 1675, setahun setelah kejadian.  Catatan penting itu menjadi katalog tsunami tertua di Indonesia. Sebuah sumbangan yang amat berharga dari seorang ilmuwan yang sesungguhnya pada saat kejadian mengalami kebutaan akibat sakit glucoma yang dideritanya.

Rumpius saat itu dibantu oleh penulis-penulis lain untuk mencatat dengan detil seluruh kejadian Gempabumi dan Tsunami Ambon Tahun 1674.

Catatan Rumpius kemudian di terbitkan kembali oleh W Buijze. MJ Sirks PhD, professor genetika dari Universitas Groningen, dengan judul: ”Waerachtigh Verhael van der Schierlijke Aerdbevinge” atau Kisah Nyata tentang Gempa Bumi yang Dahsyat.

Dalam catatannya, Rumpius mengisahkan saat kejadian gempabumi itu, lonceng-lonceng di Kastil Victoria di Leitimor berdentang sendiri, dan orang-orang yang sedang berdiri sambil mengobrol berjatuhan menimpa satu sama lainnya atau terguling ketika tanah bergerak naik turun seperti lautan, seperti dalam kutipannya:

“Lonceng-lonceng di Kastel Victoria di Leitimor, Ambon, berdentang sendiri. Orang berjatuhan ketika tanah bergerak naik turun seperti lautan. Begitu gempa mulai menggoyang, seluruh garnisun kecuali beberapa orang yang terperangkap di atas benteng, mundur ke lapangan di bawah benteng, menyangka mereka akan lebih aman. Akan tetapi, sayang sekali tidak seorangpun menduga bahwa air akan naik tiba tiba ke beranda benteng. Air itu sedemikian tinggi hingga melampaui atap rumah dan menyapu bersih desa. Batuan koral terdampar jauh dari pantai”.

Gempa tektonik terjadi dengan kekuatan M = 8,0 dengan pusat gempabumi terletak pada titik kordinat 3,50 LS dan 128,2 BT, atau tepatnya pada jarak 22,8 kilometer arah utara kota Ambon.

Baca Halaman Selanjutnya..

Gempa saat itu telah mengakibatkan sekitar 2.322 orang meninggal, termasuk mereka yang dia cintai, istri dan anak perempuannya. Gempa juga meluluhlantakkan bangunan-bangunan di Ambon.

Gempa Ambon tersebut juga diikuti dengan terjangan tsunami dahsyat yang melanda hampir seluruh pesisir Pulau Ambon dan sisi Selatan Pulau Seram.

Setidaknya menurut catatan Rumpius, ada lebih dari 13 titik yang dihantam tsunami saat itu. Wilayah terdampak di Pulau Ambon diantaranya Larike, Nusa Telo, Ureng, Lima, Seyt, Hila, Hitu Lama, Mamala, Thiel, dan Paso Baguala.

Wilayah terdampak lain di luar Pulau Ambon adalah Seram Kecil, dan Huwamoal di Seram, Oma (Pulau Haruku), Nusa Laut, dan Pulau Manipa.

Kedahsyatan tsunami menurut Rumpius dituliskan bahwa tinggi tsunami di sisi Selatan Pulau Ambon daerah antara Hila dan Lima, mencapai 50 hingga 60 depa atau sekitar 90-110 meter, sampai ke puncak bukit-bukit di sekelilingnya.

Sejarah dan Sumber Tsunami Ambon

Tsunami Ambon Tahun 1674 bukanlah satu-satunya tsunami yang terjadi di Ambon. Latif, dkk (2016), dalam buku yang diterbitkan oleh UNESCO: “Air Turun Naik Tiga Negeri”, telah mengkompilasi dengan lengkap beberapa catatan Tsunami di Ambon dan sekitarnya yang diambil dari katalog Soloviev dan Go, (1974) dan sumber lainnya. Sejarah Tsunami di Ambon tersebut diantaranya:

Tsunami 29 Februari 1648 yang terjadi di Teluk Ambon. Diceritakan bahwa, paska gempabumi besar di sekitar Benteng Victoria, terdengar suara menderu dari lautan seperti badai kuat yang datang kemudian berlalu, tapi tidak menimbulkan kerusakan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Tsunami Desember 1657 (atau 1659) yang terjadi di Pulau Buru dan Ambon yang terjadi setelah gempabumi. Tsunami menyebabkan kapal yang terjangkar di kedalaman 55-70 m naik dan berputar.

Tsunami 11 November 1659 di Pulau Teun (Tijau), Nila. Dua hari sebelum kejadian tsunami, tanggal 9 November 1659 sebuah gempabumi kuat terjadi di Pulau Teun disertai suara gemuruh.

Kemudian pada tanggal 11 November 1659, sebuah letusan kuat dari Gunung Api Teun (Funuweri) diikuti gemuruh seperti suara meriam, yang terdengar hingga Ambon dan Kepulauan Banda. Setelah itu tsunami tiba di Teluk Ambon dengan ketinggian mencapai 1-1,5 m.

Tsunami 28 November 1708 yang terjadi di Teluk Ambon. Tsunami tiba dengan suara keras bergemuruh membanjiri wilayah pesisir Teluk Ambon hingga ke lereng Gunung Batu Mera Kota Ambon.

Aliran balik tsunami menghancurkan jembatan, kemudian surut jauh hampir tidak terlihat. Banjir dan surut berlangsung begitu lama, terhitung 100-150 kejadian pasang dan surut yang berlangsung sampai jam 03.00 esok harinya.

Tsunami 5 September 1711 yang terjadi khususnya di Pantai Timur Ambon antara jam 22.00 dan 23.00, dan berlangsung hingga jam 08:30 pagi. Esok harinya, tanggal 6 September, air di teluk naik dan turun tiga kali dengan interval setengah jam. Kenaikan air sekitar 1,2 m menyebabkan 2 rumah hancur dan 2 anak tenggelam di Hative.

Tsunami yang terjadi tidak begitu lama pada 18 Agustus 1754 yang terjadi pada jam 15.30 di Ambon, Haruku, Saparua, dan Laot setelah kejadian gempa bumi.

Baca Halaman Selanjutnya..

Gempabumi tersebut diawali dengan gerakan bergelombang diikuti getaran kuat yang mengakibatkan Aula (Pasar) di Ambon, yang ditumpu oleh 60 pilar batu runtuh, beberapa bangunan hancur, dan empat orang tewas dalam reruntuhan.

Tsunami 19 April 1775, di Ambon sekitar jam 1.00 di Ambon paska guncangan kuat  disertai dengan gemuruh tanah yang berlangsung selama 5 menit. Air di Teluk berosilasi tinggi mengakibatkan sebuah kapal yang ditambatkan ditarik dengan kekuatan penuh ke belakang dan ke depan.

Tsunami 16 Desember 1841, di Ambon, Buru dan Ambalau, Buru Selatan, setelah gempa bumi yang terjadi jam 02.00. Tsunami mencapai ketinggian 1,5 m di atas permukaan air pasang tertinggi, dan berulang kali menerjang pantai Teluk Ambon. Galala di sebelah barat Ambon.

Tsunami 24 Desember 1852, akibat gempa di Bandaneira pada sekitar jam 14.30. Sejumlah besar perahu-perahu di dermaga dan di lepas pantai Seram, dan desa-desa terapung di Pulau Gorong tergenang dan terpukul ke pantai bersama penduduknya. Tsunami menyebabkan sekitar 400 perahu rusak.

Tsunami 8 Oktober 1950, di Pulau Ambon Akibat Gempa Bumi yang Kuat

Tsunami 12 Maret 1983, di Ambon setinggi 3 m yang dibangkitkan oleh gempabumi berkekuatan M5.8 dengan koordinat gempa 4.4 LS, 128.5 BT, pada kedalaman 25 Km. Tsunami ini tidak menelan korban jiwa.

Banyaknya catatan kejadian tsunami di Pulau Ambon sesungguhnya tidaklah mengherankan. Letaknya yang berada di Laut Banda yang merupakan salah satu wilayah di Indonesia Timur dengan tataan tektonik yang komplek, menyebabkan wilayah ini memiliki banyak sekali sumber-sumber gempabumi yang bisa membangkitkan tsunami. Beberapa segmen sumber gempabumi yang signifikan diantaranya adalah:

Baca Halaman Selanjutnya..

Sesar Buru Selatan yang tepat berhadapan dengan Pulau Ambon di sisi Selatan. Meskipun dimensi segmennya relatif tidak terlalu besar, akan tetapi gempabumi yang disebabkan oleh sesar tersebut bisa saja menimbulkan longsoran yang kemudian membangkitkan tsunami di Pulau Ambon.

Wilayah Busur Banda ke arah Tenggara Pulau Ambon, yang dalam banyak catatan sejarah tsunami, beberapa tsunami di Ambon terjadi setelah kejadian gempa yang bersumber di wilayah ini.

Sesar-sesar kecil di utara Pulau Ambon, yang dapat membangkitkan gempabumi dan memicu longsoran. Longsoran dapat terjadi di bawah laut atau permukaan yang kemudian mengganggu badan air dalam skala besar dan membangkitkan tsunami.

Memperhatikan catatan sejarah dan sumber-sumber gempabumi di sekitar Pulau Ambon, maka kejadian tsunami di wilayah ini tidak hanya dibangkitkan oleh gempa, akan tetapi dapat juga disebabkan oleh longsoran. Disamping itu keberadaan gunung api di Busur Banda, aktivitasnya bisa saja menjadi penyebab tsunami hingga ke pesisir Pulau Ambon.

UNESCO-IOC Tsunami Ready Galala dan Hative Kecil

Adalah dua desa di Teluk Ambon yaitu Galala dan Hative Kecil, yang masyarakatnya menyadari akan ancaman bahaya tsunami di wilayahnya.

Kesadaran ini muncul karena dua negeri (sebutan desa di Kota Ambon) ini mengalami beberapa kali tsunami, terakhir kali Tahun 1950, dimana salah satu penyintasnya Opa William Joseph dari dari Negeri Galala, masih hidup sehat hingga hari ini.

Bekerjasama dengan Pemerintah dalam hal ini BMKG, BPBD dan BNPB dan Lembaga lainnya, Negeri Galala dan Hative kecil menyiapkan 12 indikator Tsunami Ready Community yang dicanangkan oleh Unesco. Indikator tersebut meliputi aspek Assessment (Penilaian), Preparedness (Kesiapsiagaan), dan Response (Respon).

Baca Halaman Selanjutnya..

Pada aspek Penilaian, dua negeri ini mengkaji seberapa potensi bahaya tsunami yang diperkirakan melanda wilayahnya berdasarkan Peta Bahaya Tsunami yang dibuat oleh BMKG.

Berangkat dari kajian bahaya tersebut, Desa kemudian dapat memperkirakan berapa kira-kira jumlah yang berada di zona bahaya tsunami yang harus segera melakukan evakuasi, jika tsunami terjadi.

Dasar Penilaian ini kemudian menjadi pertimbangan untuk desa menyiapkan rencana Kesiapsiagaan, diantaranya dengan menyiapkan sarana evakuasi (peta, rambu, dan tempat evakuasi), melakukan edukasi dan Latihan Tsunami (Tsunami Drill) dengan rutin.

Dengan anggaran yang dimiliki, Desa berinisiatif untuk melengkapi rambu-rambu arah evakuasi tsunami untuk dapat digunakan petunjuk untuk Masyarakat dan pendatang bila harus melakukan evakuasi.

Dua desa ini juga aktif melakukan Latihan Evakuasi Tsunami, berlari dari pesisir pantai menuju tanah tinggi untuk berkumpul di SMP 1 Ambon, lokasi yang saat kejadian Tsunami 1950 merupakan lokasi yang aman tidak terjangkau tsunami.

Untuk terus mengingatkan kesadaran masyarakatnya, sebuah lagu dengan judul Banjir Galala diciptakan dan dinyanyikan pada setiap peringatan Tsunami Ambon 1950. Syair lagu tersebut dibuat untuk mengingatkan Masyarakat akan ancaman Tsunami di wilayah mereka yang harus diwaspadai.

Aspek terakhir dari indikator Unesco Tsunami Ready adalah menyiapkan kapasitas respon. Dalam hal ini masyarakat desa berinisiatif menyiapkan sebuah command center yang selalu siaga dilengkapi dengan perlengkapan komunikasi sederhana. Sistem sirene juga dibangun untuk memberikan perintah evakuasi kepada Masyarakat.

Baca Halaman Selanjutnya..

Upaya dua desa tersebut dalam mewujudkan Masyarakat Siaga Tsunami berhasil mendapat pengakuan dari Unesco. Pada pertengahan November 2024, Unesco memberikan sertifikat pengakuan kepada Negeri Galala dan Hative Kecil.

Sebagai UNESCO-IOC Tsunami Ready Community. Sebuah penghargaan yang perlu diapresiasi, dipelihara, dan ditiru oleh desa lainnya di Pulau Ambon.

Pelajaran Penting

Tsunami Ambon 1674, dan catatan sejarah tsunami lainnya di Pulau Ambon memberikan pelajaran penting untuk kesiapsiagaan di masa mendatang. Dari peristiwa masa lalu, kita mengetahui bahwa peristiwa tsunami di Ambon sangatlah kompleks.

Tsunami tidak hanya disebabkan oleh aktivitas seismik atau gempabumi, melainkan tsunami juga dapat dipicu oleh faktor non seismik seperti longsoran ataupun aktivitas gunung api.

Tsunami Ambon mengancam seluruh pesisir Pulau Ambon, oleh karenanya seluruh desa di pesisir Pulau Ambon perlu dibekali untuk memiliki kapasitas kesiapsiagaan terhadap tsunami.

Upaya mewujudkan Tsunami Ready Community yang diakui Unesco-IOC untuk Negeri Galala dan Hative Kecil adalah contoh baik yang perlu ditiru oleh negeri-negeri lainnya di pesisir Pulau Ambon.

Peringatan Tsunami Ambon 1674 setiap tahunnya akan menjadi pengingat kesiapsiagan tsunami di Ambon untuk diketahui generasi mendatang. Kita tidak pernah berharap tsunami terjadi, jikapun terjadi nanti, kesiapsiagaan menjadi bekal kita untuk tangguh menghadapi tsunami***.(*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Jumat, 14 Februari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/02/jumat-14-februari-2025.html

Exit mobile version