Site icon MalutPost.com

78 Tahun HMI: Respon Budaya Intelektual yang Meresahkan

Mohtar Umasugi

Oleh: Mohtar Umasugi
(Korpres MD KAHMI Sula)

Hari ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah memasuki usia ke-78 tahun. Sebagai organisasi mahasiswa tertua di Indonesia yang lahir pada 5 Februari 1947, HMI terus menjadi bagian penting dalam dinamika intelektual, sosial, dan politik di negeri ini.

Namun, di tengah usia yang semakin matang, muncul pertanyaan mendasar: masihkah HMI menjadi lokomotif perubahan, atau justru beradaptasi dengan budaya intelektual yang kian meresahkan?

HMI dan Tradisi Intelektual
Sejak awal berdirinya, HMI dibentuk sebagai wadah bagi mahasiswa Islam untuk mengembangkan potensi intelektual serta memperjuangkan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan.

HMI melahirkan banyak pemikir, aktivis, dan pemimpin nasional yang berperan dalam berbagai bidang. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, ada kegelisahan yang muncul: apakah tradisi intelektual HMI masih produktif dan progresif, atau justru mengalami degradasi?

Budaya intelektual yang dulu mengakar kuat kini tampak semakin pragmatis. Diskusi-diskusi kritis yang dahulu membentuk karakter kader kini sering kali tergantikan oleh kepentingan politik praktis. Organisasi yang seharusnya menjadi tempat lahirnya gagasan besar kini kerap terseret dalam dinamika yang lebih transaksional.

Sebagai kader HMI, saya percaya bahwa tradisi intelektual adalah ruh yang harus terus diperjuangkan. Keberadaan HMI di tengah dinamika sosial dan politik bangsa akan tetap relevan selama kader-kadernya mampu mempertahankan budaya berpikir kritis dan inovatif.

Baca Halaman Selanjutnya..

Oleh karena itu, menjadi bagian dari HMI bukan sekadar menjalani proses organisasi, tetapi juga komitmen untuk terus belajar, berdiskusi, dan berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih baik.

Respon Budaya Intelektual yang Meresahkan
Respon budaya intelektual yang berkembang di tubuh HMI belakangan ini patut menjadi perhatian. Beberapa kader lebih sibuk membangun relasi politik jangka pendek daripada memperkuat basis pemikiran yang kritis dan solutif.

Alih-alih menjadi kekuatan moral dan intelektual, HMI dalam beberapa kasus justru terjebak dalam pragmatisme dan kompromi yang melemahkan daya kritisnya.

Di sisi lain, budaya intelektual yang berkembang dalam HMI kini sering kali diwarnai oleh fragmentasi internal yang berlebihan. Perbedaan pandangan yang seharusnya menjadi kekayaan justru berubah menjadi konflik yang melemahkan solidaritas.

Keadaan ini membuat HMI lebih sibuk dengan dinamika internalnya sendiri daripada merespons tantangan eksternal dengan strategi yang solid.

Dalam konteks kebangsaan, respons HMI terhadap berbagai isu strategis kerap tidak lagi mencerminkan keberanian intelektual yang tajam.

Baca Halaman Selanjutnya..

Di saat negara menghadapi tantangan besar mulai dari korupsi, ketimpangan sosial, hingga demokrasi yang mengalami kemunduran sikap HMI sebagai agen perubahan justru tampak kurang menggema.

Respon budaya Intelektual yang meresahkan tidak bisa dihindari dalam era globalisasi, tetapi bukan berarti kita harus menerimanya tanpa kritik.

Sebagai bagian dari HMI, saya merasa memiliki tanggung jawab untuk turut serta dalam membangun budaya yang lebih sehat dan bermakna.

Melalui diskusi, melakukan riset, dan kesadaran tanggung jawab sosial keumatan, kita dapat menciptakan lingkungan budaya Intelektual yang lebih beradab, produktif, dan tetap berakar pada nilai-nilai luhur bangsa.

Harapan untuk HMI ke Depan
Meski demikian, di tengah tantangan tersebut, harapan untuk kebangkitan HMI tetap ada. Sejarah telah membuktikan bahwa organisasi ini memiliki daya adaptasi yang kuat. Kuncinya terletak pada bagaimana kader-kader HMI kembali memperkuat tradisi intelektual yang progresif dan independen.

HMI harus kembali menjadi rumah bagi diskusi-diskusi berbobot, tempat lahirnya pemikir yang tajam, serta wadah bagi mahasiswa Islam yang memiliki keberanian moral untuk bersikap.

Baca Halaman Selanjutnya..

HMI tidak boleh sekadar menjadi batu loncatan politik, tetapi harus menjadi pusat gagasan yang mampu memberikan kontribusi nyata bagi umat dan bangsa.

Sebagai kader HMI, saya ingin melihat organisasi ini terus berkembang, tetap relevan, dan semakin memberikan kontribusi nyata bagi umat dan bangsa.

Harapan saya, HMI tidak hanya menjadi organisasi yang besar dalam jumlah, tetapi juga dalam kualitas kader dan dampak yang diberikan.

Dengan semangat keislaman dan keindonesiaan, HMI harus terus menjadi cahaya bagi perubahan, mengawal demokrasi, dan menjaga nilai-nilai keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di usia ke-78 tahun ini, pertanyaan besar bagi kita semua adalah: apakah HMI masih memiliki nyali intelektual untuk mengguncang status quo? Ataukah ia akan semakin larut dalam budaya Intelektual yang meresahkan? Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan masa depan HMI sebagai organisasi yang tetap relevan dalam perjuangan keislaman dan kebangsaan.
Selamat 78 tahu HMI. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Jumat, 7 Februari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/02/jumat-7-februari-2025.html

Exit mobile version