CATATAN
Wajah Ganda Elit, Dubius, dan Rekam Jejak

Namun, acapkali publik pun dimobilisir, dijadikan broker dan mendukung sikap-sikap dan pandangan politik yang keliru, termasuk menampilkan puspa ragam peran pura-pura dan munafik dalam setiap babak dramaturgi politik elit.
Kekuasaan mestinya menjadi modal sosial meminjam ungkapan R.D. Putnam (2001) yang di dalamnya terjaga hubungan antar individu-individu, jaringan sosial dan norma timbal-balik serta saling percaya yang tumbuh di antara mereka.
Untuk menjaga modal sosial politik itu, maka tidak ada jalan lain, rekam jejak harus jadi ukuran, agar kesalahan, kekeliruan dan ketidak-mampuan elit dalam mengelola kekuasaan tidak jatuh dalam lubang untuk kedua-kalinya.
Setiap elit atau aktor yang berkuasa harus disadarkan atas kekeliruannya, agar publik tidak terperosok pada labirin persoalan yang sama dengan elit atau sang aktor yang berkuasa.
Kekuasaan juga, sebagaimana Hannah Arendt dalam kutipan pembuka di awal tulisan ini, harus dikelola untuk kebaikan bagi semua. Bukan untuk pribadi.
Persoalannya, sudahkah rekam jejak setiap elit yang berkuasa, ataukah mereka yang merasa diri elit, entah di birokrasi, institusi kemasyarakatan (ormas), partai politik, bahkan sampai institusi terkecil, yang akan berkuasa.
Sudahkah kita merinci secara detail keberadaannya? Jangan-jangan demokrasi yang kita usung dan teriakkan hanyalah bagian dari pentas muslihat kita. Bukankah politik adalah sebuah permainan ketidak-mungkinan?
Bila rekam jejak yang tanpa warna, tanpa meninggalkan legacy yang baik, hanya mengisi angan-angan, fantasi, dan fanatisme buta dukungan, maka patutlah elit yang akan berkuasa patut kita ragukan (dubius) kapasitas dan komitmennya. Wallahu’alam. (*)
Komentar