Solusi atau Stagnasi Demokrasi?
Pilkada Dipilih DPRD

Oleh: Muyassar Nugroho, S.H,. M.H,. CMLC.
(Pengurus Partai Golongan Karya (GOLKAR) DPD Kota Tangerang Selatan, Alumnus FH (S1) UMJ dan FH (S2) UI, Ketua Department Bidang Hukum DPP, Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), dan Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Politik, Hukum, Keamanaan dan Pertahanan DPP HIMA KOSGORO 1957)
Pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia telah menjadi bagian penting dari demokrasi sejak diterapkannya sistem pemilihan langsung pada tahun 2005.
Sistem ini memberi rakyat hak untuk memilih langsung pemimpin daerah, mencerminkan kedaulatan rakyat dalam menentukan arah pembangunan lokal.
Namun, sistem ini tidak lepas dari tantangan yang signifikan, seperti tingginya biaya politik yang seringkali memicu praktik politik uang, konflik sosial akibat polarisasi masyarakat, dan kompleksitas teknis penyelenggaraan pemilu.
Hal ini memunculkan wacana untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pendukung wacana ini berargumen bahwa pemilihan melalui DPRD lebih efisien dan dapat mengurangi biaya politik.
Di sisi lain, kritik terhadap usulan ini menyebutkan risiko melemahnya akuntabilitas, menurunnya partisipasi rakyat, dan meningkatnya potensi politik transaksional, sehingga penting untuk mempertimbangkan solusi yang lebih inklusif.
Dari perspektif ilmu politik, kedua mekanisme pemilihan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pemilihan langsung dianggap lebih demokratis karena memungkinkan rakyat terlibat secara langsung dalam proses politik.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar