Site icon MalutPost.com

Pilgub dan “Keruntuhan” Narasi Besar

Oleh: Sarfan Tidore
(Aktivis Demokrasi)

Fakta sejarah perpolitikan menempatkan bahwa perempuan dan kaum minoritas di Indonesia mengalami ketimpangan cukup signifikan.

Kurangnya representasi perempuan maupun kaum minoritas dalam bidang politik antara lain disebabkan oleh kondisi budaya patriaki, relasi kuasa, dan politik identitas menjadi hambatan, kemudahan akses sehingga menempatkan mereka sebagai kelompok subordinasi.

Dari perspektif politik gender, pertarungan merebut kursi kekuasaan Gubernur Maluku Utara selama ini didominasi oleh kaum laki-laki.

Tradisi patriarki dan perihal identitas (etnik, agama) menjadi problem akses bagi perempuan, namun dalam perkembangan kekinian dilibas habis seiring bermunculannya kekuatan baru.

Manuver politik oleh Sherly Tjoanda, secara serentak melibas tembok patriarki dan menandai apa yang disebut Fritjof Capra (2007) sebagai titik balik peradaban.

Orang-Orang Besar Yang Lengah
Kehidupan luhur kita dan bahwa kebudayaan memiliki dua fungsi, yaitu melindungi manusia dari alam dan mengatur hubungan antar manusia sendiri (Sigmund Freud, 2007:47).

Setiap kebudayaan, patriarki yang selalu tampil menancapkan tarung dominasi dan digambarkan sebagai orang-orang besar yang dipuja.

Baca Halaman Selanjutnya..

Ada kecenderungan untuk berpikir bahwa orang-orang besar ini mampu menghadirkan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, menantang ketidakadilan, menjaga ikatan budaya dengan ekologis.

Semisalnya kebesaran kesultanan hingga sekarang ini masih menjadi narasi agung di semua lapisan masyarakat Moloku Kieraha. Begitu pun dengan kedua dinasti besar yang powernya cukup disegani oleh hampir semua kalangan terutama di kalangan politisi.

Kemampuan (power) yang mereka miliki sudah barang tentu diharapkan dapat mendorong kemajuan—figur publik dan diharapkan menjadi agen transformatif.

Namun, nama besar sebagai agen transformatif hanya sebatas narasi-narasi agung yang terus-menerus diromantisir. Dalam kenyataan hidup hari-hari kekuatan narasi besar tersebut terasa tumpul, tak berdaya di tengah problem sosial yang kian terus melebar.

Ketidakhadiran mereka baik pemimpin tradisionalisme maupun politik dalam menantang problem ketidakadilan adalah soal-soal yang menggoyahkan kepercayaan masyarakat.

Menurut Nietsche, kengerian terhadap khaos adalah tanda dekadensi dan kemandekan moralitas kekuasaan. Kepercayaan, harapan justru mengajarkan nilai-nilai yang melemahkan dan tentu ini bertentangan dengan kehidupan yang selalu ingin bergerak, mengalir, meretas, menantang bahaya.

Fenomena ekonomi-politik dan ekologi misalnya, terkadang mengejutkan, betapa banyak penghuni daerah pedesaan, yang tersinkir, terasing yang dalam pengandaian Marx tentang kelas proletar.

Baca Halaman Selanjutnya..

Mereka membentuk suatu ikatan yang oleh Benedict Anderson disebut komunitas terbayang sebagai ikatan kolektivitas, yang selama ini secara paksa dilempar bersama-sama, dimarginalkan oleh system politik negara;

Disebabkan ke dalam situasi di mana mereka harus menemukan cara-cara bertahan hidup dan secara emotif menjadi suatu kolektivitas besar.

Para penghuni kumuh, kaum dimarginalkan yang membentuk kolektivitas besar ini merupakan agen transformatif yang oleh Zizek disebut part of no part atau oleh Giorgio Agamben disebut Homo Sacer; mereka bagian dari hukum tetapi sekaligus disingkirkan dari hukum.

Semisalnya laporan JATAM baru-baru ini terkait industri keruk nikel di Halmahera menunjukkan, terdapat berbagai potensi bencana yang dipicu aktivitas tambang, terutama akibat penggusuran hutan sebagai pengatur tata air dalam ekosistem, dan penggusuran ruang hidup masyarakat.

Selain kekerasan yang berdimensi ekologi, aktivitas tambang menghadirkan berbagai kekerasan fisik dan psikis bagi masyarakat Halmahera dan pekerja tambang.

Laporan JATAM tersebutpun mengungkapkan berbagai ancaman, intimidasi, hingga kekerasan dilakukan kepolisian dan pemerintah desa untuk mendukung perampasan lahan dari masyarakat Halmahera, yang dilakukan perusahaan.

Jika kondisi perampasan tanah, kerusakan ekologi terus dipertahankan akan berujung pada semakin tingginya angka kemiskinan dan memperlebar jurang kedalaman kemiskinan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Pada konteks ini sudah barang tentu eksistensi hukum, elit politik maupun pemimpin tradisionalisme kehilangan power di hadapan masyarakat.

Sebab masyarakat akan ditinggalkan jika tidak dibutuhkan bahkan tidak mendapat perlindungan hukum dan dibutuhkan jika mereka (penguasa) punya kepentingan langsung dengan masyarakat.

Ketika pemilu, misalnya, para politisi berebut memberi pengakuan hak politik kepada masyarakat, namun begitu pemilu usai mereka tidak lagi diperhitungkan.

Kalaupun masyarakat mau memilih si politisi, tentu pilihan itu lebih karena uang daripada bayangan tentang kehidupan yang lebih baik, dan sikap tersebut oleh James C. Scoot disebut perlawanan hari-hari.

Jadi, selain persoalan basis kolektivitas yang biasanya lebih berorientasi pragmatis, juga ada persoalan pada bagaimana bayangan sosok agen individual yang mampu membangkitkan dan menggerakkan pertalian di antara masyarakat pinggiran, terbelakang, kaum miskin kota dalam satu kolektivitas besar.

Eksistensi Sherly Tjoanda di panggung politik dikatakan dapat membangkitkan dan menggerakkan “Orang-Orang Kalah” menurut Roem Topatimasang (2016) dalam suatu kolektivitas besar.

Fenomena ini dapat diamati pada saat kampanye Pilgub, Sherly Tjoanda mampu menghadirkan basis massa jauh lebih besar dibandingkan dengan ketiga kandidat lainnya.

Baca Halaman Selanjutnya..

Dukungan ini tentu banyak variabel terutama kapital uang namun basis massa inipun berhubungan dengan perihal persoalan-persoalan yang tak dapat diselesaikan dan ada kerinduan masyarakat tentang sosok agen transformatif.

Problem Kemanusiaan dan Keruntuhan Narasi Besar
Selain kaum minoritas, dan Sherly Tjoanda merupakan perempuan pertama dalam sejarah pertarungan merebut kursi kekuasaan Gubernur.

Dengan demikian dalam konteks narasi, saya menempatkan Sherly Tjoanda sebagai narasi kecil, sedangkan Sultan Tidore dan kedua kandidat lainnya adalah narasi besar.

Dalam pengertian bahwa Pemilihan Gubernur Malut 2024 adalah sebuah resistensi narasi kecil terhadap narasi besar (mayoritas, dinasti politik, kekuatan tradisionalisme dan patriarki).

Jean Francois Lyotard (2008:97) yang menunjukkan sikap tentang ketidakpercayaan terhadap metanarasi (narasi besar). Serangannya terhadap narasi besar—dan memperjuangkan narasi kecil yang dipinggirkan telah menginspirasi berbagai kalangan.

Sebagai kaum minoritas yang terpinggirkan, perlawanan, perjuangan Sherly Tjoandra mengundang simpati publik relatif kuat dan narasi-narasi politiknya yang memikat, mampu menarik dukungan dari pelbagai lapisan masyarakat.

Dukungan kolektivitas besar kepada Sherly Tjoanda, dapat dikatakan bahwa masyarakat mulai menunjukkan kehendak untuk berkuasa, adalah serangan untuk “mengakhiri” kekuatan narasi besar.

Baca Halaman Selanjutnya..

Dan kemenangan telak Sherly Tjoanda mengalahkan Sultan Tidore, Aliong Mus, Muhammad Kasuba menurut Zizek dalam bukunya Living in the End Times (dikutip dalam Abdil Mughis Mudhoffir, 2011), ia (Zizek) mendedah persoalan-persoalan tak terselesaikan pertanda berakhirnya kekuatan besar.

Argumen utama Zizek, kekuatan besar (narasi besar) telah mendekati ajalnya menuju ke titik nol (apocalyptic zero-point) akibat krisis kemanusiaan yaitu penaklukan, konflik, kelaparan dan kematian yang tidak mampu diatasinya oleh narasi besar.

Meskipun dimulainya babak baru, “keruntuhan” narasi besar sebagai titik balik sejarah perpolitikan kursi kekuasaan Gubernur diduduki oleh perempuan pertama, Sherly Tjoanda, akan tetapi, jangan pernah menaruh harapan pada penguasa.

Sebagai politisi yang narasi-narasi politik cukup memikat dan mempesona, Sherly Tjoanda juga adalah pebisnis yang jaringan bisnisnya telah menggurita di berbagai sektor.

Dengan demikian berharaplah pada diri sendiri sebagai subyek otonom bahwa hidup selalu ingin bergerak, mengalir, menentang berbagai macam kontradiksi bukan pada figur heroik yang memikat tetapi sekaligus menghambat perkembangan.

Oleh karena setiap kontradiksi akan mengantarkan seseorang yang secara emotif, selalu terhubung dengan kolektivitas besar sebagai agen transformatif ala Zizek dan selalu menantang narasi-narasi besar.

Angela Davis menulis, penting untuk menolak penggambaran sejarah sebagai karya individu-individu heroik agar masyarakat saat ini dapat mengenali potensi mereka sebagai bagian dari komunitas perjuangan yang terus berkembang.(*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Kamis, 19 Desember 2024
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2024/12/kamis-19-desember-2024.html

Exit mobile version