Pilgub dan “Keruntuhan” Narasi Besar

Pada konteks ini sudah barang tentu eksistensi hukum, elit politik maupun pemimpin tradisionalisme kehilangan power di hadapan masyarakat.
Sebab masyarakat akan ditinggalkan jika tidak dibutuhkan bahkan tidak mendapat perlindungan hukum dan dibutuhkan jika mereka (penguasa) punya kepentingan langsung dengan masyarakat.
Ketika pemilu, misalnya, para politisi berebut memberi pengakuan hak politik kepada masyarakat, namun begitu pemilu usai mereka tidak lagi diperhitungkan.
Kalaupun masyarakat mau memilih si politisi, tentu pilihan itu lebih karena uang daripada bayangan tentang kehidupan yang lebih baik, dan sikap tersebut oleh James C. Scoot disebut perlawanan hari-hari.
Jadi, selain persoalan basis kolektivitas yang biasanya lebih berorientasi pragmatis, juga ada persoalan pada bagaimana bayangan sosok agen individual yang mampu membangkitkan dan menggerakkan pertalian di antara masyarakat pinggiran, terbelakang, kaum miskin kota dalam satu kolektivitas besar.
Eksistensi Sherly Tjoanda di panggung politik dikatakan dapat membangkitkan dan menggerakkan “Orang-Orang Kalah” menurut Roem Topatimasang (2016) dalam suatu kolektivitas besar.
Fenomena ini dapat diamati pada saat kampanye Pilgub, Sherly Tjoanda mampu menghadirkan basis massa jauh lebih besar dibandingkan dengan ketiga kandidat lainnya.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar