Pilgub dan “Keruntuhan” Narasi Besar

Ada kecenderungan untuk berpikir bahwa orang-orang besar ini mampu menghadirkan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, menantang ketidakadilan, menjaga ikatan budaya dengan ekologis.
Semisalnya kebesaran kesultanan hingga sekarang ini masih menjadi narasi agung di semua lapisan masyarakat Moloku Kieraha. Begitu pun dengan kedua dinasti besar yang powernya cukup disegani oleh hampir semua kalangan terutama di kalangan politisi.
Kemampuan (power) yang mereka miliki sudah barang tentu diharapkan dapat mendorong kemajuan—figur publik dan diharapkan menjadi agen transformatif.
Namun, nama besar sebagai agen transformatif hanya sebatas narasi-narasi agung yang terus-menerus diromantisir. Dalam kenyataan hidup hari-hari kekuatan narasi besar tersebut terasa tumpul, tak berdaya di tengah problem sosial yang kian terus melebar.
Ketidakhadiran mereka baik pemimpin tradisionalisme maupun politik dalam menantang problem ketidakadilan adalah soal-soal yang menggoyahkan kepercayaan masyarakat.
Menurut Nietsche, kengerian terhadap khaos adalah tanda dekadensi dan kemandekan moralitas kekuasaan. Kepercayaan, harapan justru mengajarkan nilai-nilai yang melemahkan dan tentu ini bertentangan dengan kehidupan yang selalu ingin bergerak, mengalir, meretas, menantang bahaya.
Fenomena ekonomi-politik dan ekologi misalnya, terkadang mengejutkan, betapa banyak penghuni daerah pedesaan, yang tersinkir, terasing yang dalam pengandaian Marx tentang kelas proletar.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar