Otonomi Daerah adalah Skema Neoliberal, Bukan Upaya Mendorong Kesejahteraan Rakyat

Oleh : Hasan M. Thaib

(Mahasiswa Universitas Widya Mataram Yogyakarta)

Ketika saya membaca berita harian tentang Maluku Utara, kebijakan otonomi daerah mewarnai/kembali menjadi program yang menarik perhatian Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) Provinsi Maluku Utara (Malut). Para pasangan calon (Paslon) menjanjikan ketika mereka terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, mereka akan berupaya memberikan beberapa daerah – dalam tulisan ini merujuk pada Pulau Obi – Daerah Otonomi Baru (DOB).

Secara eksplisit, hal ini disampaikan pada masa kampanye Paslon dan pada saat debat publik pertama yang diselenggarakan di Sofifi tanggal 12 November 2024. Para paslon mengambil posisi pro terhadap ‘pemekaran’ beberapa wilayah. Membaca dan mendengar hal ini, segera saya membuat dua pertanyaan pokok: Apa yang seharusnya dirumuskan untuk pembangunan agar bisa mencapai target kesejahteraan rakyat; dan sudut pandang apa yang melatarbelakangi gagasan para paslon mengenai ‘otonomi daerah’. Dua pertanyaan ini merujuk pada ‘komitmen’ para paslon terhadap pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, ketersediaan pasar dan investasi, serta hubungannya dengan DOB(?).

Gagasan dasar mengenai ‘otonomi daerah’ dapat dilacak dari agenda Konsensus Washington (Washington Consensus). Istilah ini mulai muncul pada tahun 1989 sebagai seperangkat kebijakan yang disepakati oleh IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS. Seperangkat kebijakan tersebut terkait dengan stabilisasi keuangan, pembukaan negara terhadap perdagangan dan investasi bebas, dan pengurangan keterlibatan negara dalam kegiatan ekonomi secara langsung. Istilah ini kemudian dikenal dengan kebijakan neoliberal. Kesepakatan dan kebijakan neoliberal menjadi prasyarat pemberian pinjaman oleh Bank Dunia dan IMF. Secara khusus, prinsip neoliberal adalah memastikan tidak ada hambatan dalam kegiatan investasi. Tidak adanya hambatan dimaknai sebagai kemudahan-kemudahan dan kepastian hukum baru agar efisiensi dan keberlangsungan investasi lebih terjamin. Sehingga dibutuhkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang sejalan dengan kompetisi di dalam pasar bebas.

Pasca 1998 – kurang lebih 20 tahun sejak Washington Consensus, Indonesia menterjemahkan kesepakatan dan kebijakan neoliberal tersebut ke dalam kebijakan otonomi daerah yang diterbitkan tahun 2001. Kebijakan ini mengubah kepala daerah yang sebelumnya menunggu arahan dari pemerintah pusat menjadi pelaku kunci investasi. Dalam banyak kasus, penetrasi kebijakan neoliberal lebih mudah dijalankan dalam tata politik negara yang terpecah-pecah. Ini memudahkan investasi asing dapat dengan mudah menegosiasikan sumber daya alam di tingkat lokal tanpa harus menunggu negosiasi panjang dengan pemerintah pusat. Selain itu, otonomi daerah juga meminimalisasi biaya dan memaksimalkan keuntungan. Lebih jauh, sejak pelaksanaan otonomi daerah hingga tahun 2011 lalu, diperkirakan sedikitnya sudah ada 9000-an Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Indonesia. Tak jarang IUP-IUP ini bermasalah.

Di maluku utara, sejak ditetapkannya AGK sebagai tersangka kasus dugaan suap pada 20 Desember 2023, dan kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada 17 April 2024, hal ini membuka kembali penglihatan ‘kita’ terhadap keterlibatan aktor pejabat publik dan pihak swasta dalam momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 lalu. Dalam momentum ini, AGK mengobral 36 izin tambang. Kordinator Jaringan Anti Tambang (JATAM) Nasional, Melky mengatakan bahwa AGK berkepentingan mendapatkan dana operasional kampanye, sementara perusahaan berkepentingan mendapat jaminan hukum atas keberlanjutan investasi (Wicaksono, 22 Desember 2023). Sebagai pelaku kunci investasi, pasca ditetapkn KPU pada tahun 2018 sebagai Gubernur Malut terpilih, AGK menyediakan seperangkat pengaturan – bahkan JPU KPK Rio Vernika Putra mengatakan AGK memanipulasi perkembangan proyek agar pencairan anggaran dapat dilakukan – yang terkait dengan Izin Usaha Pertambangan. Kewenangan penuh yang diberikan oronomi daerah sebagai skema neoliberal untuk memudahkan dan menjamin investasi swasta telah menyeret pejabat publik, pihak swasta, anggota partai politik dan kalangan elit lokal yang berkepentingan untuk memaksimalkan keuntungan.

Jika melihat otonomi daerah sebagai skema neoliberal, maka patut kita pertanyakan komitmen para Paslon Cagub-Cawagub Maluku Utara tahun 2024 mengenai Daerah Otonomi Baru (DOB). Kenyataannya, DOB merupakan usaha penataan yang didorong untuk dilakukan agar prinsip-prinsip neoliberal bekerja penuh dengan menata ulang pasar dan pengadaan tanah untuk kepentingan investasi oleh swasta melalui skema birokrasi pemerintah daerah yang bertindak sebagai pelaku kunci investasi. Dengan kata lain, otonomi daerah tidak memudahkan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam, tetapi justru menjadi penghubung penjarahan SDA yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan swasta. Tulisan ini melihat komitmen para paslon sebagai komitmen elit untuk memaksimalkan keuntungan, dan hanya membentuk elit-elit baru di tingkatan daerah yang lebih kecil. Untuk alasan-alasan inilah demagogi politik bekerja atas nama kesejahteraan rakyat.

Komentar

Loading...