Politik Menggali Tulang Belulang Feodalisme: Sebuah Komentar Singkat

Politik keturunan, misalnya, adalah sebuah mekanisme yang dalam sejarah feodal telah menjustifikasi kekuasaan secara turun-temurun. Pada era modern, upaya menggali kembali struktur semacam ini, meskipun dengan dalih pelestarian budaya, dapat mengarah pada konservatisme yang tidak memajukan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
Dalam konteks Maluku Utara, elite politik yang mengklaim diri sebagai penjaga tradisi seringkali melakukan apropriasi nilai surplus melalui kontrol atas sumber daya alam dan ekonomi yang seharusnya dapat diakses secara adil oleh masyarakat luas.
Lebih jauh lagi, politik berbasis kebudayaan yang dipromosikan dalam narasi “selamatkan Maluku Utara” tampak menempatkan kebudayaan sebagai alat mobilisasi politik. Sementara, isu-isu fundamental seperti ketimpangan sosial-ekonomi,, akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta pengelolaan sumber daya alam, seringkali diabaikan atau hanya menjadi wacana pinggiran dalam diskursus politik lokal.
Dalam konteks ini, politik menggali tulang-belulang feodalisme di Maluku Utara justru menciptakan sebuah jebakan di mana perubahan struktural yang sesungguhnya diperlukan, seperti demokratisasi ekonomi dan desentralisasi kekuasaan, tenggelam dalam glorifikasi simbol-simbol feodal. Apa yang terlihat di permukaan sebagai upaya “penyelamatan” sebenarnya merupakan reproduksi dari struktur kekuasaan yang justru memperkuat oligarki dan memperburuk kesenjangan sosial.
Penting untuk mencatat bahwa promosi kebudayaan lokal memang memiliki peran yang signifikan dalam membentuk jati diri suatu masyarakat. Namun, ketika instrumen-instrumen tersebut dimanfaatkan oleh elite atau kelompok elite tertentu untuk memonopoli kekuasaan dan mengklaim legitimasi tanpa memberikan ruang partisipasi yang luas kepada rakyat, maka politik semacam ini justru menjauhkan masyarakat dari prinsip-prinsip keadilan sosial yang sejati.(*)
Komentar