Lawatan Paus dan Seruan Membangun Jembatan Desa-Kota

Paralel dengan itu, berdasar Deklarasi Manila 1980, pariwisata tidak boleh lagi mengabaikan permasalahan sosial. Selain itu, desakan kepariwisataan yang beretika diikuti Deklarasi Rio de Janiero 1992. Akhirnya, pada 1992, PBB menelurkan Kode Etik Pariwisata Dunia.
Sejak itu, konsep dasar berwisata tidak lagi sekadar mengisi waktu luang dan membuang uang. Kode etik mengarahkan pengeluaran (spend of money) dan lama tinggal (length of stay) agar tidak hanya mengorientasikan kegiatan berwisata pada ranah leisure and pleasure.
Sebaliknya, wisatawan masa kini diharapkan berinteraksi dengan kebudayaan lokal yang beragam di Indonesia. Salah satunya berkunjung ke desa-desa yang kini menjadi desa wisata.
Dengan pola multi-activity (alam, budaya, tata kehidupan masyarakat), berkunjung dan berwisata di desa memungkinkan wisatawan berinteraksi langsung dengan masyarakat di desa melalui local homestay, local food restaurant, serta toko-toko suvenir.
Praktik semacam itu memperkuat gagasan community-based tourism di mana masyarakat sendirilah yang menjadi subjek sekaligus mendapatkan manfaat langsung dari pariwisata.
’’Dunia baru’’ harus dihadirkan saat ini, yakni perhatian seluruh pelaku wisata untuk menempatkan manusia dan alam sebagai prioritas dalam industri pariwisata.
Kesejahteraan manusia, mulai sumber daya manusia dan semua pihak yang terlibat dalam industri pariwisata, termasuk masyarakat lokal, harus mendapat prioritas sebagai pihak yang mendapat manfaat optimal.
Kelestarian alam harus dipastikan terjaga, tidak dirusak, apalagi diubah fungsi dan keasliannya, hanya untuk mendapatkan profit.
Pariwisata perlu diletakkan pada basis sumber daya lokal. Secara geografis, potensi dan sumber daya pariwisata Indonesia kebanyakan berada di kawasan pedesaan. Kondisi itu kontekstual dengan tren pariwisata dunia yang telah mengalami pergeseran dari old tourism menjadi new tourism.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar