SP PLN Sebut Skema Power Wheeling Ancam Kedaulatan Energi Indonesia

Ivan Naibaho yang juga pimpinan sidang tetap Rakernas SP PLN Tahun 2024, di Hotel Bidakara Jakarta menyampaikan ketika power wheeling di implementasikan, maka transmisi kelistrikan nasional akan menjadi dual system.
Menurutnya jika skema power wheeling masuk ke dalam RUU EBET, negara tidak akan mampu membendung kepentingan-kepentingan yang dibawa oleh swasta. "Bila hal ini terjadi, negara bakal sulit dalam menjamin kedaulatan energi nasional"ujarnya.
Ivan Naibaho menegaskan bahwa risiko-risiko tersebut harus dihindari. Kita semua rakyat Indonesia harus sepakat bahwa Power wheeling harus kita tolak dalam RUU EBET mengingat negara harus hadir dalam memenuhi kebutuhan energi bagi rakyatnya.
Masyarakat Indonesia juga tentu perlu tahu bahwa Penerapan Power Wheeling dipandang dapat menimbulkan banyak dampak Negatif yang signifikan baik dari segi Keuangan, Hukum, Teknis dan Ketahanan Energi. Mulai dari Dampak Keuangan yaitu Penurunan Permintaan Organik dan Non-Organik yang mampu menggerus 30% Permintaan listrik organik dan 50% permintaan non organik dari pelanggan konsumen tingkat tinggi (KTT). Beban Keuangan Negara : Setiap 1 GW (Giga Watt) pembangkit listrik yang masuk melalui Skema Power Wheeling diperkirakan akan menambah beban keuangan Negara hingga Rp.3,44 Triliun (Biaya ToP + Backup Cost) dan perkiraan dampak akumulatif sampai dengan 2030 adalah sebesar Rp.429 Trilliun untuk Skema Take Or Pay (ToP) yang semula dari Rp.317 T, atau terjadi kenaikan sebesar Rp.112 Trilliun.
Sedangkan dampak hukumnya adalah, terjadinya kontradiksi dengan UU No.20 Tahun 2022 bahwa Power Wheeling merupakan implementasi dari MBMS yang melibatkan Unbundling. Dimana UU No.20 Tahun 2022 telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.
Dampak hukum lainnya adalah mereduksi peran negara seperti yang disampaikan pada judicial rewiew SP PLN di MK sebelumnya mengingat Penyediaan Ketenagalistrikan merupakan Peran Negara dalam menjaga kepentingan Umum dan dapat memicu potensi sengketa seperti penaikan tarif listrik, losses, frekuensi, dan volume yang dapat bedampak pada terhentinya pasokan listrik (Blackout) dan merugikan masyarakan luas.
Dampak Teknisnya adalah memperparah Memperparah Oversupply. Dimana saat ini, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami oversupply. Penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan tidak stabil.
Dampak terhadap ketahanan energi: dengan meningkatnya risiko blackout, jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai. Hal ini dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat, harga listrik yang tidak terjangkau: Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve akan meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta APBN. (ikh)
Komentar