Site icon MalutPost.com

Menyimak Wajah-Wajah Manusia di Pentas Sejarah

Oleh: Yusuf Hasani
(Direktur Maluku Utara Government Watch)

Wajah memang menyuguhkan sesuatu yang begitu berharga dan hakiki dalam keseluruhan dinamika kehidupan umat manusia atau suatu bangsa/negeri.

Aneka corak manusia dengan gaya dan tingkah lakunya, pola pikir, aspek terjangnya serta watak dan kepribadian dalam keseluruhan interaksi sosialnya dapat disimak dari pentas sejarah kehidupan ini.

Ali Syariati, dalam bukunya “Sosiologi Islam” mengklasifikasi tiga wajah manusia. “Wajah Kaisar,”, “Wajah Filosof”, “Wajah para Nabi dan Rasul. Masing-masing memiliki ciri tersendiri dan tentunya menyuguhkan suatu isyarat yang berharga.

Wajah kaisar, diisyaratkan oleh sejarah ialah seorang laki-laki yang memiliki tatapan mata yang tajam, tanpa belas kasih. Ia kaisar adalah figur yang kasar dan bengis, ditangannya tergenggam sebilah pedang terhunus selalu meneteskan dan mengucurkan darah segar dari pedangnya.

Wajah kusam para jelata bersimpuh sujud ketakutan setiap sang kaisar lalu dihadapannya. Modal sang kaisar adalah kekuasaan dan kekuasaan, dengan itulah ia dapat berbuat sekehendaknya.

Selain wajah kaisar terdapat pula wajah lain yang tenang dan welas asihnya sang filosof, turut mewarnai pentasa sejarah peradaban umat manusia.

Filosof adalah seorang yang berpandangan jernih, ada pada setiap masa dan negeri. Ia seorang yang mempunyai kesan tenang dan cerdas, Seringkali dijadikan mitra kerja sang kaisar, sebagai konsultan atau penasihat.

Baca Halaman Selanjutnya..

Ikut duduk di istana megah bersama penghuni lainnya. Namun pada saat yang lain, ia juga suka menyendiri ditempat sunyi, asyik dengan pikiran dan renungannya.

Daya imajinasinya yang tajam menerawang, mengembara menjelajahi langit nan biru, meninggalkan bumi tempat berpijak dan kemudian melupakan kenyataan. Ia (filosof) memang amat bergairah untuk memahami kebenaran dan hakekat kebenaran.

Hanyut dalam pikiran-pikiran yang dalam dan “ganjil” terpenjara oleh sekelompok manusia dan kaum terpelajar yang mengaguminya. Makin cepat ia bergerak, makin jauh ia dari kehidupan nyata dan “rendah” ini serta dari keinginan dan selera umum.

Ia dengan asyik masuk mereka-reka pikiran “ganjilnya” yang terasa begitu “eksklusif” susah dan rumit. Sesungguhnya hakekat kebenaranlah yang dicari sang filosof.

Namun hanya kaum filosof jualah yang mampu menjawab dan menjalankan rinciannya, atau boleh jadi hanya orang yang gandrung dengan logika yang dapat menerangkan hasil renungannya, tidak termasuk para “ummiyun” (kaum awam) bahkan sama sekali tidak faham atau hampir tidak mau faham serta terpengaruh dengan hasil renungannya.

Jika sang kaisar meninggal dunia, hanya sanak keluarga dan mungkin juga penghuni istana lainnya ikut meratap dan menangisinya. Sedangkan masyarakat umum mengumpat, memuji syukur, karena terbebas dari intimidasi dan eksploitasi sang kaisar.

Berbeda dengan sang filosof yang meninggal dunia, hanya pustakawan dan akademisi yang meratap tangis, sedangkan kaum ummiyun tidak tahu apa-apa, bahkan tidak merasa kehilangan apa-apa.

Baca Halaman Selanjutnya..

Sungguh dua wajah yang sangat kontras mewarnai sejarah peradaban ummat manusia. Wajah lain(ketiga) adalah wajah para Nabi dan Rasul. Meskipun tempat tinggal dan kehadirannya kerap kali berlainan kurun dan abad, tetapi dengan segala perbedaan percakapan serta gaya para Nabi dan Rasul, lebih mirip satu dengan lainnya.

Roman muka manusia pilihan ini selalu tampak akrab dan bersahabat. Perilakunya terlihat kesetiaan kepada kebenaran dan keikhlasan. Setiap orang sampai pada puncak sejarah kemanusiaan selalu saja didapati massa manusia, kapan dan dimana saja mengikuti dengan setia wajah-wajah sederhana yang mengusik kalbu ini.

Masyarakat awam dan ummiyun dengan penuh cinta kasih, ikhlas dan setia melekatkan pandangannya pada wajah-wajah yang agung penuh cahaya misterius, tidak gentar mengorbankan dirinya demi kesejahteraan dan kedamaian dunia manusia disekitarnya.

Hidupnya bersama masyarakat awam berkomunikasi dengan bahasa yang lancar tanpa ada kesenjangan sedikitpun. Wajah para Nabi dan Rasul berbeda dengan Filosof, yang kerap kali hidup ditengah massa manusia, akan tetapi massa tidak merasa tersentuh dan tidak mengalami perubahan.Bahkan rakyat yang tertindas oleh kekuasaan, kemelaratan pun tidak berubah.

Sedangkan keberadaan para Nabi, dimanapun selalu melakukan ‘Islah” wa “tajdid” (perubahan dan perbaikan). Dari lukisan natural ketiga wajah dari pentas sejarah kehidupan umat manusia, sebagaimana tersebut di atas.

Setidaknya telah menyuguhkan suatu isyarat yang mendasar, baik bagi yang berkuasa maupun masyarakat awam, para cerdik pandai (kaum intelektual), generasi pendahulu (tua) mapun generasi mendatang (pemuda) dalam keseluruhan ikhtiar menghadirkan pemimpin yang amanah pada pilkada serentak Maluku Utara November 2024.

Bergabung dan berbaris dengan wajah manakah manusia Maluku Utara mesti hadir atau dihadirkan? Jika dengan wajah kaisar kita hadir atau dihadirkan, maka ketahuilah bahwa segala pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki hanya akan dipergunakan untuk mengejar kekuasaan dan kemewahan hidup belaka, prinsip menghalalkan segala cara demi tujuan akan begitu membudaya.

Baca Halaman Selanjutnya..

Pertarungan antara kekuatan yang demikian serius, bukan mustahil rasa persaudaraan kian memudar, pada gilirannya bermuara pada disintegrasi sosial, tragis memang.

Mana kala mesti berbaris pada wajah filosof, yang senantiasa asyik dengan teori dan pengembaraan rasionalitasnya, tidak juga memberi pengaruh yang berarti untuk kesejahteraan masyarakat dan kemajuan Maluku Utara.

Haruskah manusia Maluku Utara hadir atau dihadirkan dalam wajah para Nabi dan Rasul, yang dalam keseharian kehidupannya mendatangkan kesejahteraan dan kedamaian bagi dirinya dan masyarakat, merupakan suatu pekerjaan yang tak mudah.

Dalam konsep pembangunan nasional, boleh jadi wajah para Nabi dan Rasul adalah dambaan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Dari rangkaian ikhwal di atas, maka kewajiban utama kita adalah membangun kembali silaturrahmi yang lebih sublim. Oleh karena itu, tugas seorang intelektual dan pemimpin yang berpikiran merdeka adalah tugas para Nabi, dalam menyampaikan risalah Allah kepada manusia.

Ia mesti teriak ditelinga manusia yang tersumbat dan beku, menyadarkan, menuntun, mengobarkan semangat berjihad, menanamkan keyakinan baru serta kesadaran berjuang.Ia harus berbicara dengan bahasa mereka (Q.S.14:4)

Para Nabi adalah manusia biasa, kemudian memperoleh kesadaran dari wahyu yang sanggup mengubah suatu masyarakat yang korup dan beku menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif. Jadi hanya berada dalam saf para Nabi dan Rasullah, kita sanggup membangun rumah peradaban manusia Maluku Utara masa depan.(*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Rabu, 9 September 2024
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2024/09/senin-9-september-2024.html

Exit mobile version