Oleh: Asyudin La Masiha
(Anggota dan Instruktur HMI Cabang Ternate, juga Kader FORSAS-MU, Mantan PRESMA dan Alumni Sejarah Unkhair)
“Kita harus beriman dan berilmu sekaligus, yang keduanya mewarnai perbuatan kita”. Nurcholish Madjid
Membicarakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai salah satu organisasi mahasiswa tertua di Indonesia di mana kelahirannya berselang dua tahun kemerdekaan, tak salah kiranya untuk menyebut HMI adalah anak kandung Indonesia dalam pandangan penulis.
Organisasi yang pada awal didirikan banyak mendapat pandangan sinis bahkan penolakan, namun dari itu semua tak menjadikan niat dan keberanian dari Ayahanda Lafran Pane pudar. Jika bukan karena keimanan, keintelektualan dan spririt jihad sosialnya mungkin sekarang tak akan ada yang namanya HMI.
Berangkat dari kondisi dunia, kebangsaan, keislaman dan dunia kemahasiswaan, dirinya dapat menterjemahkan realitas itu dalam kesadarannya sehingga mengkomitmenkan itu dalam pendiriaan HMI dengan tujuan asasi sebagai awal berdirinya.
Dan itu semua dibuktikan dengan keterlibatan HMI di masa-masa awal setelah kemerdekaan di mana Indonesia diperhadapankan dengan Agresif Belanda I dan II sebagai upaya penjajahan kembali Hindia Belanda serta pemberontakan PKI.
Kondisi kebangsaan yang demikian menjadikan generasi awal HMI tak tinggal diam, justru melepas pena dan buku dan melibatkan diri langsung mengangkat senjata dengan bergabung dalam militer.
Berjuang bersama pemerintah dan rakyat dengan membentuk Corps Mahasiswa pada tahun 1948 atas inisiatif Wakil Ketua PB HMI saat itu, Ahmad Tirtosudiro dengan komandannya Hartono dengan dirinya sebagai wakil.
Kiranya sekian dari banyaknya peristiwa penting setelah kemerdekaan Indonesia, HMI berperan penting dalam panggung sejarah bangsa ini.
Tak sebatas Agresif Belanda I dan II, HMI juga terlibat dalam peristiwa 1965 yang bersejarah itu serta peristiwa 1998 yang melahirkan wajah reformasi hingga sekarang sebagai kesadaran dari Komitmen Kabangsaan yang dibawah HMI.
Baca Halaman Selanjutnya..
Tak heran dari semua yang telah dilakukan, HMI tak dibubarkan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1965 atas hasutan tokoh nasional PKI yakni D.N. Aidit yang sejak awal tak menghendaki keberadaan HMI dan memprovokasi Bung Karno bahwa HMI kontra revolusioner.
Serta juga Panglima Besar Republik ini Jendral Soedirman menyebutkan HMI tak sebatas Himpunan Mahasiswa Islam akan tetapi juga Harapan masyarakat Indonesia.
Menulis tantang HMI bagi penulis sendiri adalah hal yang menarik, bukan berarti menunjukan diri karena berlatar belakang HMI sebab hemat penulis telah banyak yang mengulas HMI dari faktor historis bahkan juga pemikiran yang ditawarkan oleh HMI baik itu para kader ataupun pihak luar yang tertarik untuk membicarakan HMI.
Tulisan ini hadir melainkan membicarakan satu poin penting dari HMI itu sendiri, yakni memaknai HMI sebagai jalan dakwah. Inilah yang hendak penulis sentil dalam tulisan sederhana ini dengan harapan seluruh anggota dan kader HMI mampu memaknai eksistensinya dalam ber-HMI.
Mengurai perjalanan dan dinamika dari sejarah perjuangan HMI dalam forum perkaderan tak bisa dilepaskan dalam pembicaraan Sejarah Peradan Islam.
Mengapa demikian? Penulis memahaminya sebagai refleksi dan korelasi dalam menemukan makna dari Sejarah Peradaban Islam bagi eksistensi dan perjuangan HMI.
Telah banyak literatur yang mengulas Sejarah Peradaban Islam yang dari sumber-sumber tersebut mengilhami kita mengetahui Identitas, Esensi dan Nilai dari Peradaban Islam.
Membicarakan Peradaban Islam tak akan lengkap jika tidak mengulas sosok yang paling berpengaruh dalam sejarah, sosok agung, manusia suci yang paripurna, Nabi Muhammad SAW sebagaimana Michael H. Hart menuliskan dalam bukunya A Rangking of the Most Influential Person of History.
Baca Halaman Selanjutnya..
Tentunya penempatan status demikian bukanlah tanpa alasan, apalagi sang penulis adalah tokoh non muslim. Namun sejarah membuktikan itu, diantara indikatornya ialah; pertama, sosok individunya dengan keberhasilan yang dikata spektakuler; kedua, karakteristik kepemimpinan dan politiknya; serta ketiga adalah keseimbangan dari apa yang dakwahkan, yakni Islam.
Mengapa tidak, ajaran yang dibawahnya melampaui zaman, menerobos batas sosial dan budaya serta kewilayahan bahkan menjadikan setiap individu menjadi lebih baik dengan transformasi diri yang dikenal dengan hijrah.
Maka sejatinya adalah kesalahan besar apabila mengatakan islam adalah agama yang menyebar luas karena ketajaman ujung pedang. Siarnya ajaran islam baik semasa Rasullah, Khulafaur Rasyidin, ataupun pada masa kedinastian ke penjuru dunia bahkan juga di Indonesia tak lain sejatinya adalah dakwa itu sendiri.
Maka jika demikian, membicarakan HMI tak sebatas mendefinisikannya sebagai organisasi mahasiswa semata, malainkan ia dipahami dan dimaknai sebagai salah satu dari sekian banyaknya istrumen dari keberlanjutan dakwa islam itu sendiri.
Karena jika hanya yang dibicarakan dalam sejarah peradaban islam adalah monumen-monumen fisik serta intrik politik dan siklus kekuasaan dalam islam, maka kita tak ubahnya bernostalgia dengan sejarah, lebih-lebih tak menemukan nilai dari sejarah itu sendiri.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang merekonstruksi dan menjiwai sejarah perjuangannya tidak bisa melepas diri dari membicarakan Islam dalam konteks peradaban harusnya mampu menemukan indentitas, nilai dan esensi dari peradaban islam.
Sehingga membicarakan perjuangan ayahanda Lafran Pane dan 14 tokoh lainnya serta apa yang sudah ditorehkan dalam sejarah HMI dalam bingkai Keislaman, Kebangsaan dan Kemahasiswaan adakah semata menemukan makna yakni sebuah keberlanjutan dari siar islam itu sendiri yang dalam hal ini adalah dakwah.
Dengan menginternalisasi identitas, nilai dan esensi dari peradaban islam sehingga mampu menemukan maknanya dalam berjuang, HMI memiliki sumber spirit perjuangan yang dikenal dengan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist.
Sebagai basis ideologi perlawanan, perjuangan dan jihad dalam menterjemahkan realitas sosial menuju tujuan HMI. Kalau ditelisik dan mencermati lebih jauh antara SPI dan SPH (begitu dikenal dalam materi), NDP dan Mission HMI-kita akan menemukan jawaban dari alasan penulis menyebut HMI sebagai jalan dakwah.
Baca Halaman Selanjutnya..
Bagaimana HMI mengambil peran sebagai keberlanjutan peradaban islam dalam aspek pemikiran dan nilainya? Alasan itulah HMI menempatkan dirinya organisasi yang berfungsi sebagai perkaderan.
Sebagaimana dijelaskan dalam konstitusi dan pedoman perkaderan HMI khususnya, sebagai upaya organisasi secara sadar dan sistematis untuk melahirkan kepribadian kader intelegensi-muslim.
Artinya HMI berkomitmen untuk melahirkan generasi bangsa yang berahlakul karimah serta memiliki kemampuan intelektual sebagai wujud dari mahluk yang berakal dan berkesadaran.
Sebab sejatinya manusia adalah hamba yang digelari kehormatan sebagai khalifa di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan semata-mata Kehadirat-Nya.
Oleh karena itu, keberadaan dari seorang kader HMI harus benar-benar mencermikan esensi dari pandangan atas apa yang diyakininya sebab hanya dengan itulah keseimbangan dapat diwujudkan dalam dirinya, lingkungan sosial serta alam.
Keserasian antara ketiganya terjewantahkan melalui internalisasi kesadaran nilai dari alasan mengapa manusia diciptakan, apa yang mestinya dilakukan untuk mencapai kesempurnaan diri dan hidup serta kemana setelah kehidupan dunia ini.
Namun daripada itu, manusia sangatlah potensial untuk melakukan tindakan-tindakan yang mengingkari esesnsi bekehidupan. Olehnya itu, sebagai mahluk sebaik-baiknnya ciptaan manusia dengan indra, hati dan akal semampunya harus dapat membentuk kesadaran agar berkehidupan sesuai dengan fitrah-nya yakni cenderung kepada kebenaran.
Tanpa itu semua, manusia akan sulit memahami dan mencapai apa yang disebut oleh Sachiko Murata sebagai penyatuan dalam metakosmos.
Baca Halaman Selanjutnya..
Maka daripada itu kader HMI seyogyanya manusia dalam berkehidupan, haruslah berkendak dan bertindak dalam kerangkan keseimbangan duniawi dan ukhrawi.
Dari pada itulah kader HMI membutuhkan pegangan hidup yang menjadikan dirinya tunduk, patuh dan berserah diri. Maka dari itu, dalam berkehidupan sepatutnya kader HMI ber-islam.
Islam yang sarat dan kuat akan nilai ketauhidan, anggota HMI dituntut menginternalisasi dan memanifestasikan nilai-nilai illahiyah dalam dan untuk mengambil tanggungjawab melakukan pembebasan atas kondisi sosial yang membelenggu dan menindas.
Sebagaimana ditegaskan dalam pedoman perkaderan bahwa seluruh penindasan atas kemanusiaan adalah thagut yang harus dilawan. Tanggungjawab dalam konteks ini dimaksud sebagai peran kader sebagaimana pendefinisian dalam glosarium pedoman perkaderan.
Dalam perkaderan, konsentrasi diarahkan pada pembentukan kesadaran dan pemahaman serta penanaman nilai islam juga ideologi sebagai modal dalam menterjemahkan dan mengaktualisasikan HMI sebagai organisasi perjuangan.
Frasa perjuangan inilah yang hendak penulis tafsir sebagai aktivitas dakwah, sebuah tindakan untuk melanjutkan dan mensiarkan nilai-nilai dalam berkehidupan.
Dalam konteks ini peran manusia sebagai khalifah juga terkhususnya sebagai kader HMI, harus mampu berdiri dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki dengan keberpihakan pada yang benar.
Serta dapat mengikhtiarkan diri dalam melakukan perjuangan untuk gerakan perubahan kearah yang lebih baik (individu yang berahklakul karimah dan masyarakat adil makmur) mencapai ridho Allah Subhana Wata’ala.
Baca Halaman Selanjutnya..
Sebagaimana diketahui bersama, orientasi perkaderan diarahkan pada rekayasa dalam pembentukan kader yang berkarakter, nilai dan kemampuan melakukan transformasi kepribadian dan kepemimpinan dari seorang muslim yang kaffah.
Sikap dan wawasan intelektual yang melahirkan kritisisme serta orientasi kepada kemandirian dan pofesionalisme, maka sejatinya adalah konsep dalam perkaderan menghendaki peristiwa hijrah pada setiap anggota.
Hijrah yang dimaksud bukan persoalan perpindahan tempat semata, malainkan pada situasi kebatinannya. Di mana hijrah dijembatani oleh keimanan dan spirit jihad dalam diri untuk mewujudkan kehidupan yang diridhoi Allah SWT.
Sebagai fondasi kesadaran sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-An’am ayat 162 bahwa; Katakanlah (Muhammad) , “sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam”, yang menegaskan bahwa tak ada tujuan lain dalam dakwah-perjuangan HMI.
Selain Allah dan tak ada alasan lain dalam setiap dakwah HMI selain perwujudan akan QS. Al-Zariyat ayat 56 serta tak ada yang dapat menghalangi dakwah-perjuangan HMI selain Allah kuasa atas kehendak-Nya.
HMI yang telah memilih islam sebagai asas sejak awal berdirinya dengan komitmen keislamannya meyakini dan menyadari sepenuhnya nilai historis dari sejarah islam dalam memformulasikan tujuannya.
Tak semata membentuk kualitas insan cita guna terwujudnya masyarakat cita melainkan menjadikan ridho Allah SWT sebagai cita-cita tertinggi, menjadi akhir dalam setiap perjuangan HMI.
Olehnya itu, islam sebagaimana menjadi landasan ideologi dalam perjuangan HMI, maka sepatutnya setiap kader dengan potensi diri dan intelektual yang dimiliki sedapat mungkin melakukan transformasi dan revolusi diri dalam mengambil peran dakwah.
Baca Halaman Selanjutnya..
Sebab menurut Hasan Hanafi revolusi sosial hanya dapat terwujud jika terjadi revolusi dalam diri dan itu diawali dengan revolusi tauhid. Seorang kader harus menjadi pendakwah dalam mewujudnyatakan nilai-nilai islam dalam bingkai komitmen kebangsannya.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang memiliki komitmen asasi ke-Indonesiaan, ke-Islaman dan kemahasiswa, bagi kader-kader seharusnya mampu memaknai Sejarah Peradaban Islam dan Sejarah Perjuangan HMI dalam konteks dakwahnya.
Lantas apa yang didakwahkan para kader? Dalam konteks inilah situasi ke-Indonesia, ke-Islaman dan ke-Mahasiswaan, atau meminjamn bahasa Muhammad Jusrianto selaku Sekjed PB HMI, Tri-Komitmen HMI dimaknai sebagai modal dakwa para kader.
Artinya kader HMI mendakwahkan pikirannya sebagai bentuk pengejewantahan pertanggungjawaban keintelektualan dari seorang kader. Maka sudah sepatutnya kader HMI dalam eksistensinya selalu dalam kultur akademik, memperkuat basis intelektual, mereformula metodelogi serta konkritisasi ideologi perjuangan.
Kader HMI dengan trilogi komitmen itu harus dan memang semestinya mampu melahirkan transformasi sosial kearah yang lebih baik melalui perjuangan kader. Ketiganya menjadi instrumen diagnosa, pisau analisa serta barometer dalam proteksi perubahan sosial masyarakat.
Setiap kader harus menjadi intelektual profetik serta dapat memaknai dirinya sebagai insan-insan pilihan yang melanjutkan misi suci para nabi dan para syuhadah yakni keillahian, kemanusiaan dan pembebasan dalam memperjuangan tegaknya nilai Islam yang menjadi rahmatan lill’alamin.
Memahami HMI sebagai Jalan Dakwah adalah ikhtiar penulis, sehingga dalam berjalannya waktu, kita tidak terjebak pada, diskursus, polemik serta intrik kekuasaan dalam ber-HMI.
Terakhir sebagai refleksi diri seorang kader ditengah dinamikan himpunan yang kita cintai bersama ini, penulis menaruh harapan besar akan spirit perjuangan yang tak sepaputnya padam.
Baca Halaman Selanjutnya..
Dinamika organisasi haruslah menjadikan itu sebagai proses pendewasaan mencapai kebijaksanaan. Kiranya kritisisme dan dialogis dalam HMI jangan sampai tergilas zaman lebih-lebih konflik internal.
Selalulah menjadi rahim dimana pikiran-pikiran pembaharu dan visioner lahir demi Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang Bernafaskan Islam dan Bertanggungjawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang Diridhoi Allah SWT.
Sebagai tujuan akhir dari perkaderan, hakikatnya tujuan HMI adalah mengupayakan terbentuknya manusia yang beriman lagi berilmu dengan kemampuan menunaikan tugas kemanusiaanya, amal salah yang menjadi tujuan hidup manusia.
Meminjam bahasanya Cak Nur selaku salah satu tokoh perumus NDP dan Pemikir Islam, ia menyimpulkan bahkan sikap hidup manusia sederhana yaitu Beriman, Berilmu Beramal.
Akhir kata, Yaumil Milad penulis Ucapkan untuk HMI Cabang Ternate ke 60 tahun. Di umur yang tak lagi belia ini, Insya Allah tak mengalami kemandulan dalam menciptakan Intelegensi Muslim yang selalu memenuhi panggilan perjuangan.
Mendakwahkan nilai-nilai islam hingga akhir menjadi seorang martir, menjadi syuhada dalam jihad sosialnya. Yakin dengan Iman, Usaha dengan Ilmu, Sampaikan dengan Amal Perbuatan. YAKUSA.(*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Kamis, 29 Agustus 2024
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2024/08/rabu-28-agustus-2024.html