Daya Dukung Lingkungan Sudah Terlampaui, Tambang di Halmahera Perlu Dibatasi

Kajian kebencanaan ini seharusnya menjadi salah satu pertimbangan penting pembangunan di Halmahera Tengah, termasuk dalam implementasi hilirisasi nikel yang lahap lahan.
Pius Ginting juga menegaskan, pembatasan nikel diperlukan sesuai dengan daya dukung energi terbarukan. Dampak perubahan iklim di Halamahera Tengah menunjukkan musim kemarau yang panjang sehingga debu PLTU memperburuk kesehatan warga. PLTU perlu dipensiunkan, menghentikan kontruksi, dan digantikan dengan energi terbarukan. Karena sumber energi terbarukan terbatas di Halmahera, maka produksi nikel pun perlu dibatasi.
Kepala Bidang Penataan dan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Tengah, Abubakar Yasin mengakui ada gap antara kondisi lingkungan dengan kemampuan investasi.
Abubakar juga menyoroti pertumbuhan jumlah penduduk yang masif dan berdampak pada pembuangan sampah. Selain itu, curah hujan yang sangat tinggi pada bulan Juli 2024 dan melebihi standar curah hujan di Halmahera Tengah menjadi salah satu sebab terjadinya banjir bandang.
Menurut Abubakar, dari 7 perusahaan besar mengelola tambang di Halmahera Tengah, yang diawasi baru lima perusahaan. Ia mengakui limbah yang masuk ke sungai dan tidak terkelola dengan baik akan berpengaruh ke kualitas sungai.
Namun kehadiran investasi tidak bisa ditolak, apalagi ini dari pemerintah pusat. Ia mengatakan pemerintah daerah tidak berdiam diri. Mereka tetap melakukan sesuatu meski belum maksimal.
Sementara Supriyadi Sudirman warga asli Sagea, Halmahera Tengah yang tergabung dalam Komunitas Fakawele dengan keras mengatakan warga Sagea tak membutuhkan tambang nikel. Warga Sagea membutuhkan sungai dan laut yang bersih, juga alam dan hutan yang indah untuk hidup.
Supriyadi mengatakan, warga Sagea tinggal sekitar 3 km dari lokasi hilirisasi nikel. Mereka sangat terdampak dengan masifnya pergerakan tambang di wilayah tersebut.
Ia mengaku sudah melakukan penolakan lahan tambang sejak tahun 2011, tapi penolakan itu tak pernah digubris. Bahkan ketika pencemaran semakin parah ia dan komunitas Save Sagea tak pernah mendapat akses untuk melihat pusat pencemaran.
“Sejak Agustus 2023, pencemaran sungai tak terbendung. Sungai keruh hampir sepanjang waktu. Deforestasi juga sangat tinggi. Di laut juga terjadi pencemaran, banyak ikan laut yang sudah tak bisa dikonsumsi karena terkontaminasi nikel,” demikian dipaparkan oleh Supriyadi.
Ia meyakini, berdasarkan penelitian yang pernah ia lakukan, Sagea tak memiliki potensi nikel karena itu adalah kawasan kars. Sayangnya, meski banyak dosen dan peneliti yang datang meneliti sumber air, tapi warga tak pernah mendapatkan informasi lanjutan. “Warga sagea hanya bisa melihat kerusakan,” ujarnya.
Pernyataan Supriyadi dibenarkan Rifya. Perempuan warga Sagea ini mengaku merasakan dampak yang begitu besar. Tak hanya dirinya, tapi juga mama-mama lain warga Sagea.
“Perempuan yang sedang menstruasi atau habis melahirkan, biasanya menggunakan bahan-bahan alam sebagai obat untuk menjaga kesehatan reproduksi. Tapi setelah ada tambang, pohon-pohon dan tanaman obat sekarang sudah tidak ada,” ujarnya.
Baca halaman selanjutnya...
Komentar