O’hongana Manyawa dalam Kepungan Industri Ekstraktif

Berdasarkan data BPS, hingga awal 2023, tingkat kemiskinan di Halmahera Timur tercatat 13,14 persen, sementara Halmahera Tengah 12 persen. Angka ini jauh di atas rata-rata kemiskinan tingkat provinsi sebesar 6,46 persen (Pardede, 2023).

Aktivitas perluasan area pertambangan di Maluku Utara turut menimbulkan berbagai dampak serius seperti kenaikan deforestasi hutan (Transparency International-Indonesia, 2024), banjir bandang, pencemaran sungai dan akses air bersih (Belseran, 2022).

Belum lagi dampak fatal lainnya seperti jaringan korupsi, serta potensi konflik agraria serta ancaman nyata ketergerusan hutan yang merupakan ruang hidup O’Hongana Manyawa yang bermukim di hutan Halmahera Timur dan Tengah, termasuk di dalamnya dugaan kriminalisasi (Utama, 2023).

Dalam temuan Global Forest Watch tahun 2023 (dalam Pardede, 2024) bahwa sejak 2001-2022, Kabupaten Halmahera Timur telah kehilangan 56.300 hektar tutupan pohon, sedangkan Kabupaten Halmahera Tengah telah kehilangan 26.100 hektar tutupan pohon.

Lantas, bila kawasan hutan tergerus oleh perluasan areal pertambangan, bagaimana dengan nasib dan eksistensi masa depan O’Hongana Manyawa?

Hutan dan Eksistensi O’Hongana Manyawa
Hutan memiliki makna luhur dalam kehidupan O'Hongana Manyawa. Sejak dahulu kala, hutan menjadi sumber pangan yang terus memberi penghidupan bagi anak-cucu.

Melalui aktivitas berburu, meramu, dan berladang, mereka mencukupi kebutuhan makan kesehariannya. Hidup selaras dengan alam atau bergantung pada sumber daya hutan adalah satu-satunya prinsip hidup berkelanjutan yang dipraktikan oleh O'Hongana Manyawa.

Namun, bagi O'Hongana Manyawa, hutan tidak hanya sekadar sumber makanan saja, tetapi juga tempat bersemayam leluhur. Menjaga hutan sama dengan menjaga asal-usul, identitas, dan keberlanjutan hidup komunitas O’Hongana Manyawa.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6

Komentar

Loading...