Site icon MalutPost.com

Memahami Data Kemiskinan

Oleh : Ati’ah Dyah Lestari, SST
(Statistik Ahli Muda BPS Kota Ternate)

Bulan Juli Badan Pusat Statistik telah merilis angka kemiskinan Maret 2024. Pasca dirilisnya angka kemiskinan ini, kemiskinan selalu menjadi topik yang marak untuk diperbincangkan banyak pihak.

Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan memang merupakan persoalan mendasar di berbagai wilayah baik regional kabupaten/kota, provinsi maupun sebuah negara.

BPS mencatatkan angka kemiskinan Maluku Utara yaitu sebesar 6,32 % dari total jumlah penduduk Maluku Utara, atau sekitar 83,09 ribu jiwa. Angka kemiskinan Maluku Utara masih dibawah angka nasional yang sebesar 9,03 %.

Jika dilihat berdasarkan kabupaten/kota maka persentase penduduk miskin tertinggi di Kabupaten Halmahera Timur (11,91 persen) dan terendah di Kota Ternate (3,14 persen).

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan di Maluku Utara mengalami penurunan dari 6,46 persen pada Maret 2023 menjadi 6,32 persen pada Maret 2024 yaitu turun sekitar 0,14 persen berkurang sebanyak 0,71 ribu orang.

Beberapa pengamat masyarakat menanggapinya dengan berbagai respon baik positif maupun negatif dengan berbagai sudut pandang mereka.

Menanggapi berbagai tanggapan mengenai data maka menjadi suatu keharusan bagi kita untuk memahami data dengan baik sebelum melakukan analisis agar apa yang kita sampaikan memiliki dasar dan tidak hanya asal bunyi bahkan kadang menjadi salah interpretasi.

Baca Halaman Selanjutnya..

Bagaimana mendapatkan penduduk miskin?
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep dan metode standar yang digunakan banyak negara di dunia. BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar.

Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, yang diukur dari sisi pengeluaran.

Dalam pendekatan kebutuhan dasar, seseorang atau sekelompok orang di suatu wilayah dikatakan miskin apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan (Perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan) yang paling minimal di wilayah tersebut.

Baik kebutuhan dasar makanan dan non makanan kemudian dikonversikan menjadi batas minimal pengeluaran konsumsi dalam nilai rupiah atau dikenal dengan Garis Kemiskinan (GK).

Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Metode ini dipakai BPS sejak tahun 1998 supaya hasil penghitungan konsisten dan terbanding dari waktu ke waktu (apple to apple).

Data kemiskinan yang dihasilkan ini adalah data kemiskinan makro dimana penghitungan penduduk miskin dengan pendekatan makro didasarkan pada data sampel bukan data sensus, yang nantinya hasilnya berupa estimasi.

Sumber datanya berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan BPS setiap tahun pada bulan Maret dan September.

Baca Halaman Selanjutnya..

Bagaimana BPS menghitung Garis Kemiskinan (GK)
Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan terpisah untuk daerah perkotaan dan pedesaan. GK dibangun dari komponen Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).

Konversi kebutuhan dasar menjadi GK itu sendiri diperhitungkan melalui konsumsi riil sekelompok paket komoditas (baik makanan dan bukan makanan) oleh penduduk referensi yaitu sebanyak 20 persen penduduk yang tepat berada di atas garis kemiskinan sementara (GK periode sebelumnya yang di-inflate dengan inflasi umum (IHK)).

GKM adalah jumlah nilai pengeluaran 52 komoditi dasar makanan riil yang dikonsumsi penduduk referensi dan kemudian disetarakan dengan nilai energi 2.100 kkal perkapita per hari.

Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung rata-rata kalori dari 52 komoditi tersebut. Selanjutnya GKM tersebut disetarakan denga 2.100 kkal dg cara mengalikan terhadap harga implisit rata-rata kalori.

GKBM merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi non makanan terpilih (perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan).

Nilai kebutuhan minimum per komoditi/sub-kelompok nonmakanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi /sub-kelompok tersebut terhadap total pengeluaran komoditi/sub-kelompok yang tercatat dalan data Susenas modul konsumsi.

Garis Kemiskinan Maluku Utara pada Maret 2024 tercatat sebesar Rp 604.460,-/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp 464.529,- (76,85 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp 139.931,- (23,15 persen).

Baca Halaman Selanjutnya..

Dengan demikian 83,09 ribu jiwa tersebut adalah mereka yang rata-rata pengeluaran per orangnya sebulannya tidak lebih dari Rp. 604.460,-. Secara rata-rata rumah tangga miskin di Maluku Utara memiliki 6,12 orang anggota rumah tangga.

Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp 3.699.295,-/rumah tangga miskin/bulan. Untuk analisis lebih lanjut bisa dibuka per komoditi berdasarkan sharenya masing-masing dibedakan wilayah kota dan desa.

HARAPAN demi Data Statistik Berkualitas
Penentuan suatu kebijakan dan pembuatan suatu keputusan harus berdasarkan “fakta” (evidence based policy making) maka dibutuhkan data yang berkualitas termasuk data strategis seperti data kemiskinan.

Kendala yang dihadapi BPS dalam pengumpulan data di lapangan adalah responden susah ditemui atau enggan menjawab pertanyaan petugas survei secara lengkap dan apa adanya. Ini sangat berpengaruh terhadap kualitas data yang dihasilkan nantinya.

Maka dari itu dalam menghasilkan data ini partisipasi publik sebagai masyarakat menjadi komponen utama yang penting. Kesadaran akan tanggungjawab kualitas data yang dihasilkan adalah tanggungjawab kita bersama.

Jangan khawatir kerahasiaan data mikro dijamin oleh undang-undang. Sebagai warga negara yang baik mari kita terima kedatangan petugas survey BPS dengan tangan terbuka dengan memberikan data apa adanya. Syukur Dofu-Dofu.(*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Jumat, 9 Agustus 2024.

Exit mobile version