Halmahera dan Potensi Bioprospeksi yang Hilang

Hal ini menandakan bahwa bioprospeksi dapat membuka pintu bagi penemuan sumber senyawa kimia baru atau bioaktif yang bermanfaat di berbagai bidang. Misalnya, berbagai jenis tumbuhan obat yang digunakan oleh masyarakat lokal dan terbukti memiliki efek terapeutik yang signifikan dapat diteliti lebih lanjut untuk pengembangan produk berkelanjutan.
Kekayaan hayati di Halmahera dan Maluku Utara secara umum sesungguhnya dapat menjadi modal utama untuk bertransformasi dari daerah yang mengandalkan sumber daya (resource-based society) menjadi daerah yang mengandalkan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi (knowledge-based society). Seiring dengan itu, sumber daya manusia yang mumpuni pun dapat dibangun.
Sayangnya, potensi besar ini terancam oleh maraknya industri ekstraktif di Halmahera. Penambangan nikel, emas, dan mineral lainnya telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius.
Hutan-hutan yang menjadi habitat bagi banyak spesies endemik dialihfungsikan. Sementara limbah penambangan mencemari sungai dan laut, merusak ekosistem air yang sangat penting bagi keberlanjutan keanekaragaman hayati.
Halmahera: Pusat Laboratorium Dunia
Secara historis, tidak bisa dielakkan bahwasanya sejak abad ke-19, eksotisme Halmahera telah menarik minat para ilmuwan dan naturalis dunia untuk mengeksplorasinya.
Lahirnya teori Evolusi yang dipatenkan oleh Charles Darwin tak terlepas dari kontribusi Alfred R. Wallacea dalam mengungkapkan potensi keanekaragaman hayati yang tersimpan di dalam Pulau Halmahera. Walau belakangan, berdasarkan perdebatan para saintis, Wallacea yang seharusnya memegang hak atas paten tersebut.
Jika kita bergeser sedikit ke arah selatan, di Kepulauan Maluku (seperti Banda, Ambon, Seram, dan Buru), pada abad ke-17, George Everhardus Rumphius telah lebih dulu mengeksplorasi kekayaan SDA hayati dan menjadikan kawasan tersebut sebagai laboratorium pengembangan ilmu pengetahuan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar