Oleh: H. Usman Muhammad
(Imam Besar Masjid Agung Al-Munawwar Kota Ternate)
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dijelaskan bahwa: “Iman itu lebih dari 70 (tujuh puluh) atau 60 (enam puluh) cabang, cabang iman yang tertinggi adalah mengucapkan ‘Laa ilaaha illallah’, dan cabang iman yang terendah adalah membuang gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.”(HR. Bukhari-Muslim).
Pelajaran yang dapat kita petik dari pengertian pesan Nabi Muhammad Saw, dalam Hadits tersebut di atas ialah bahwa, jika seseorang dalam hidup ini masih mempunyai rasa malu ketika melakukan sebuah perbuatan yang bertentangan dengan norma Agama, norma etika/moral maupun norma hukum serta norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan negara, maka itu merupakan tanda bahwa orang tersebut masih memiliki iman.
Sebaliknya jika seseorang sudah tidak lagi mempunyai perasaan malu ketika melakukan segala hal yang bertentangan dengan norma-norma tersebut di atas maka itu sebuah pertanda bahwa orang tersebut sudah tidak memiliki iman atau paling tidak kualitas imannya lagi turun ke titik nadir yang terendah.
Iman dan malu adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, Nabi Muhammad Saw, bersabda: “Innal hayaa’a wal imana qurina jami’aan, fa idza rufi’a ahadu huma rufi’a al aakharu” (Malu dan iman itu adalah dua hal yang saling bergandengan /tak dapat dipisahkan, bila yang satu diambil atau pergi maka yang lain akan menyusul).
Menurut Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, dalam bukunya “Al Islam” jilid I, mendefenisikan bahwa: Malu, ialah: “Suatu perasaan mundur yang mengenai seseorang dikala dhahir daripadanya sesuatu yang membawa ia tercacat”.
Selanjutnya kata Prof. Hasbi. Karena itu seseorang yang mempunyai perangai malu, menurut lah (tha’atlah) ia kepada segala perintah Allah dan menahan diri dari segala larangan-Nya, ia memelihara kepala dan isinya, ia memelihara perut serta kandungannya dan ia tidak terperdaya dengan hiyasan dunia.
Orang yang memiliki perasaan malu akan menahan diri dari mengambil sesuatu yang bukan haknya, walaupun ada kesempatan terbuka lebar dihadapannya. Dan sebaliknya orang yang selalu berusaha mencari-cari kesempatan untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya itulah orang-orang yang tidak memiliki perasaan malu.
Baca Halaman Selanjutnya..
Ia menganggap perbuatannya itu bukan lagi sebuah perasaan mundur yang membuat ia tercacat, ia tidak lagi memikirkan bagaimana kalau perbuatan tercela itu diketahui orang. Nabi Saw, berpesan: “Man alqa jilbabalhya’i falaa ghiibata lah” (barang siapa yang sudah melemparkan pakaian malu dari dirinya, maka tak ada lagi upatan orang baginya (segala cacat yang dihadapkan kepadanya tidak dipandang lagi sebagai sebuah upatan).
Agama Islam mengajarkan kepada umatnya “al-Hayaa’u” yang artinya malu. Malu adalah salah satu dari sekian sifat dan tingkah laku manusia. Kalau seseorang malu melakukan amal-amal shaleh (kebaikan), sementara dia tidak malu melakukan perbuatan dosa dan maksiat, maka akan jatuh harga dirinya dari posisi yang serendah-rendahnya.
Dalam Al-Qur’an surat At-Tin ayat 4-6, Allah Swt tegaskan: “Kami ciptakan manusia dengan kejadian yang sebagus-bagusnya. Lalu Kami turunkan mereka ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya”. (Q.S. At-Tin 4-6).
Perbedaan antara manusia dengan hewan adalah adanya rasa malu, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki keluhuran, harkat dan martabat.
Predikat sebagai makhluk yang memiliki keluhuran, harkat dan martabat tersebut akan tetap terpelihara dan selalu disandang oleh manusia, jika rasa malu masih ada pada dirinya. Malu melakukan kejahatan, malu mendzalimi orang lain, malu mengambil sesuatu yang bukan haknya, malu melakukan korupsi uang negara yang membuat rakyat menjadi menderita.
Dalam pandangan Islam, ada tiga jenis malu yang perlu dibudayakan dalam diri setiap insan, yaitu: Pertama, malu kepada diri sendiri, kedua, malu kepada orang lain (manusia), dan yang ketiga, malu kepada Allah Swt.
Orang yang malu kepada manusia atau kepada orang lain, tapi tidak malu kepada dirinya sendiri, berarti sama dengan dia merendahkan dirinya sendiri dan tidak menghargai dirinya.
Baca Halaman Selanjutnya..
Orang yang hanya malu kepada orang lain dan tidak malu kepada Allah Swt, berarti dia tidak mengenal Tuhannya dan tidak menyadari bahwa Allah selalu melihatnya dimanapun dia berada dan mengetahui segala macam perbuatannya.
Jika budaya malu itu tumbuh dengan subur dalam diri setiap manusia, maka akan menimbulkan kesan yang positif dalam kehidupan manusia itu.
Bila seseorang malu kepada Allah, maka berbahagialah dia, karena dengan malu kepada Allah akan termotivasi untuk melaksanakan segala perintah yang diwajibkan kepadanya, dan tercegah dirinya dari segala macam kejahatan yang dilarang oleh Allah Swt.
Bila seseorang malu terhadap manusia, maka akan tercegah dirinya untuk melakukan berbagai pelanggaran dan kecurangan, karena jika perbuatannya itu diketahui orang lain akan membuat dirinya tercela dan terhina.
Kemudian orang yang malu terhadap dirinya sendiri, maka dia tidak akan menjerumuskan dirinya ke dalam segala hal yang mencelakakan dirinya, maupun yang akan menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling mulia di muka bumi ini.
Malu adalah salah satu sifat terpuji yang menunjukkan kualitas iman seseorang, dimana seseorang menjaga nama baik sendiri, nama baik keluarganya agar tidak tercemar, jangan sampai menjadi bahan perbincangan orang.
Tapi malu berbuat dosa tidak hanya sebatas kepada manusia saja, tapi lebih-lebih kepada Allah Swt, harus lebih ditingkatkan dan ditumbuhkan budaya rasa malu tersebut, karena harus disadari oleh kita semua bahwa suatu saat nanti akan dipanggil oleh Allah Swt, untuk mempertanggungjawabkan semua yang kita lakukan di dunia ini.
Timbul sebuah pertanyaan, kenapa budaya malu itu harus ditumbuhkan? Malu itu ibarat sebuah bibit yang telah ditanam, agar dia tumbuh dengan subur maka harus dirawat, disiram dan diberi pupuk serta mendapat sinar matahari yang cukup.
Baca Halaman Selanjutnya..
Demikian juga bibit malu yang sebenarnya sudah berada di dalam diri setiap orang, tinggal bagaimana sipemilik bibit itu merawatnya, kalau bibit malu itu tidak dirawat dengan baik dan serius oleh pemiliknya, maka tidak menutup kemungkinan, sekali kelak bibit malu yang sudah ada itu akan hilang dari diri manusia.
Moral inilah sangat penting pada saat ini, jika suatu masyarakat dan bangsa yang sudah hilang rasa malunya, maka bangsa itu akan musnah dan hancur. Ini merupakan nilai kemanusiaan, bila rasa malu masih ada dalam diri seseorang, itu berarti bahwa orang itu masih memiliki nilai kemanusiaan.
Budaya malu dari bangsa dan negara kita (Indonesia) pada saat ini benar-benar berada pada tingkat yang sangat memprihatinkan, terutama mereka-mereka yang diserahi amanat (kepercayaan) untuk mengurus Negara ini.
Malah dengan kepercayaan yang diberikan rakyat tersebut justru dimanfaatkan dan disalahgunakan untuk memperkaya diri, sehingga terjadi korupsi diberbagai lini kehidupan bangsa ini.
Tentunya kita sangat kaget dan terkejut ketika kita disuguhkan berita dari berbagai media, baik media cetak maupun elektronik yang memberitakan tentang operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap para Kepala Daerah, yang terlibat dalam kasus korupsi berupa suap menyuap dengan nilai yang fantastis.
Belum lagi kasus-kasus korupsi yang melibatkan aparat penyelenggara negara lainnya seperti penegak hukum, berbagai instansi Pemerintah maupun para wakil rakyat (anggota DPR/DPRD) maupun Menteri.
Padahal mereka sudah diberi gaji yang besar dengan uang rakyat, tapi tidak memikirkan bagaimana nasib rakyat yang menderita sebagai akibat dari perbuatan mereka yang tidak punya rasa malu tersebut.
Faktor inilah yang membuat bangsa kita ini selalu dirundung berbagai masalah yang sepertinya tidak pernah habis-habis, karena ternyata bangsa dan negara kita ini di urus oleh sebagian orang yang cacat mental (jiwa) yaitu, yang tidak punya rasa malu.
Baca Halaman Selanjutnya..
Perasaan malu ketika berbuat salah atau melanggar norma-norma dalam sebuah komunitas pada dasarnya adalah karakter asli manusia. Oleh karena itu kadang-kadang orang bisa melakukan apa saja untuk terlepas dari rasa malu, termasuk bunuh diri.
Di Jepang umpamanya seorang pejabat yang terindikasi dan ketahuan melakukan korupsi bisa langsung bunuh diri atau paling tidak mengundurkan diri dari jabatannya agar terlepas dari perasaan malu yang menjeratnya dihadapan masyarakat.
Pernah terjadi, ketika konser musik super star dunia, Michael Jackson di Tokyo Jepang, seorang pejabat meminta beberapa lembar tiket (karcis) kepada panitia konser. Tapi tiket tersebut bukan untuk dirinya, melainkan untuk beberapa anggota keluarga yang ingin menonton.
Kemudian publik mengetahui kejadian tersebut dan mempublikasikan ke berbagai media massa di Jepang, karena pejabat tersebut merasa malu, maka dengan jiwa besar dan kesadaran yang tinggi mengundurkan diri dari jabatannya, karena ingin terlepas dari rasa malu dan sanksi sosial dari masyarakat.
Ini merupakan konsekwensi dari perbuatan salah yang diperbuat, padahal kalau dipikir nilai dari beberapa lembar karcis tersebut tidak seberapa, tidak lebih dari 30 juta kalau di rupiakan.
Perasaan malu berbuat salah tertanam dalam-dalam di hati setiap orang Jepang, sehingga mereka sangat berhati-hati ketika dipercayakan menjadi pejabat publik.
Bisa dikatakan bahwa karakter yang kuat itu telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Jepang. Inilah salah satu dari sekian banyak karakter bangsa Jepang yang perlu kita tiru yaitu budaya malu dan bertanggung jawab.(*)
Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi. Jumat, 7 Juni 2024.