Site icon MalutPost.com

Demokrasi Maksuuuddd..!

Oleh: Harun Gafur
(Pegiat Literasi TERAS SAGU)

Indonesia, sebagai Negara multikultur, menghadapi potensi konflik yang tinggi antar elemen etnisitas pembentuk multukulturnya. Anasir konflik dapat bermula dari persoalan perbedaan identitas hingga perjuangan pemenuhan kepentingan dan kebutuhan masing-masing yang semestinya tidak perlu dipersoalkan.

Elemen identitas yang berbeda berupa etnis, agama, adat dan istiadat, bahasa dan lainnya secara alamiah merupakan penanda keberagaman yang secara sosial yang mesti seharusnya sebagai manusia menerima secara bersama sebagai pemberian Tuhan, sehingga tidak perlu memunculkan friksi atau gesekan antar sesama.

Dalam Sistem Negara demokrasi yang selama ini dianut oleh bangsa Indonesia, mau tidak mau, kita harus berdiskusi mengenai manusia dan segala aspek perilakunya yang terlibat dalam system Negara dan pemerintahan berdemokrasi.

Berbagai isu politik dan demokrasi yang berkaitan dengan perilaku manusia antara lain kepemimpinan politik; perilaku memilih (voting behavior), strategi politik, komunikasi politik serta keputusan politik.

Seluruh set aktivitas manusia dalam konteks politik dan demokrasi ini jelas merupakan aspek perilaku yang dipengaruhi oleh aspek-aspek psikologis seperti kognisi, emosi, sikap, kepribadian dan lain sebagainya.

Prinsip demokrasi yang telah diterapkan Indonesia saat ini membawa berbagai konsekuensi sosial yang positif, salah satunya kondisi dimana semua orang memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin politik.

Namun, apa yang harus digunakan sebagai panduan strategis untuk memperoleh pemimpin yang membawa ideologi kesejahteraan rakyat? Apakah hal ini dapat dicapai dengan hanya menelisik track record pekerjaan; prestasi; gelar akademis dan kapasitas intelektual.

Penulis justru melihat bahwa empat aspek ini tidak menjadi jaminan ukuran integritas seorang pemimpin politik. Ketika individu menjadi seorang pemimpin politik, berbagai variabel, baik sosial, ekonomi bahkan psikologis hadir membayangi berbagai proses pengambilan keputusan yang harus dilalui olehnya.

Oleh karena itu, nilai dan emosi moral menjadi dua variabel yang harus diperhitungkan dalam isu kepemimpinan politik. Ketika individu menjadi seorang pemimpin politik, ia akan dibekali dengan berbagai perangkat kognitif yang siap untuk membawa prestasi, terdiri dari para ahli, birokrat dan profesional, seperti Gubernur, Bupati atau Walikota dengan perangkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Presiden dengan para menteri dan staff ahlinya.

Tugas seorang pemimpin adalah menentukan arah kemana perangkat kognitif ini akan berlabuh. Oleh karena itu, pemimpin harus menjadi nahkoda yang memberikan arah tujuan yang tepat kemana sebuah kapal besar akan berlabuh.

Baca Halaman Selanjutnya..

Saat ini berbagai kajian mengenai politik dan demokrasi di Indonesia mayoritas diwarnai oleh berbagai kajian ilmu politik dan hukum yang berbicara mengenai sistem demokrasi yang terbaik bagi Indonesia, misalnya sistem pemilihan umum langsung serentak, lelang jabatan di institusi pemerintah, revisi UU parpol dan lain sebagainya.

Sedangkan kajian mengenai individu, kelompok dan perilaku masih menjadi materi yang minor untuk diaplikasikan. Padahal, ketika berbicara mengenai kondisi demokrasi, maka kita berbicara mengenai manusia sebagai invidu yang menyelenggarakan demokrasi, kelompok yang berinteraksi serta perilaku yang kompleks.

Maka seharusnya, psikologi sebagai cabang ilmu yang mempelajari manusia secara komprehensif hadir dan memberikan sumbangsihnya. Sumbangsih yang diberikan dapat berupa kajian-kajian empiris mengenai perilaku manusia (individu atau kelompok) dalam berbagai setting politik dan demokrasi.

Demokrasi antara Parang dan Demonstran.
Video viral yang memperlihatkan Bupati Halmahera Utara, Maluku Utara Frans Manery menggunakan parang dan mengejar mahasiswa yang berdemonstrasi di Tobelo, ibu kota Halmahera Utara. Akibatnya para demonstran pun berlarian bahkan sampai ke rumah-rumah warga.

Penulis mengutip dari kompas.com (Antara,1/6/2024), demonstrasi tersebut diikuti oleh sejumlah mahasiwa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Aksi unjuk rasa tersebut dilakukan terkait momentum Hari Ulang Tahun (HUT) ke-21 Kabupaten Halmahera Utara.

Ketua GMKI Halmahera Utara Rivaldo Djini mengungkapkan, mahasiswa prihatin lantaran pemerintah daerah mengadakan acara hiburan meriah dengan mengundang artis di Lapangan Do’omu Matau, Jumat malam. Padahal, lanjut Rivaldo, gaji honorer tenaga kesehatan, hak PNS berupa TPP selama 1,5 tahun, gaji honorer Satpol PP dan tenaga kebersihan ada yang belum dibayarkan oleh pemerintah daerah.

“Apakah mengundang artis dan mengadakan acara hiburan masuk pada kategori prioritas? Alangkah baiknya anggaran itu dipergunakan membawar utang yang tentu mengutamakan kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat,” kata dia, seperti dikutip dari kompas.com (Antara,1/6/2024).

Namun, bupati disebut justru membubarkan para demonstran dengan cara mengejar mereka sambil membawa parang. Sementara Bupati Halmahera Utara Frans Manery mengungkapkan, dirinya sudah menegur para demonstran untuk segera pulang. Namun menurutnya para mahasiswa itu tak menggubris permintaannya dan terus berorasi di agenda pleno KPU.

Frans berdalih tindakannya mengejar demonstran dengan senjata tajam untuk membubarkan mereka itu bukan sebagai kepala daerah lantaran dirinya tak memakai atribut. “Sekali lagi saya katakan, tindakan saya tadi bukan atas nama bupati, tapi atas nama pribadi,” katanya._(kompas.com /2024/06/02).

Kepemimpinan Demokrasi.
Pada era demokrasi saat ini, kehadiran seorang pemimpin yang mampu mendengar dan memfasilitasi kerja sama dengan rakyat adalah sebuah keharusan. Begitu juga di Indonesia, negara kepulauan terbesar dengan kekayaan alam yang melimpah. Sebagai negara demokrasi yang berusia belia, kehadiran pemimpin yang demokratis adalah keharusan.

Namun, pengalaman kelam, bahkan traumatis bagi sekelompok masyarakat pada era orde baru seakan menjadi mimpi buruk yang terus membayangi. Pada era orde baru, sangat terasa bahwa fungsi partai politik tidak menjadi sebuah institusi yang menjalankan fungsinya untuk mencetak kader-kader politik yang mumpuni.

Baca Halaman Selanjutnya..

Partai politik (parpol) saat itu hanya menjadi alat kekuasaan yang digunakan oleh sebagian elit untuk memenuhi ambisi politiknya. Bahkan hingga saat ini, penyakit yang mendera parpol masih dialami sebagian besar parpol di Indonesia sampai di daerah.

Dalam kaitannya dengan isu politik, emosi moral pemimpin adalah konstruk psikologis yang harus hadir sebagai panduan perilaku politik, terutama seorang pemimpin politik yang harus menjadi role model bagi rakyat.

Nilai dan emosi moral pemimpin menjadi dua konstruk psikologis yang harus berinteraksi dalam pribadi para pemimpin politik dalam pemerintahan masa kini.

Jika kajian-kajian politik pada umumnya didominasi pada kajian tentang sistem tata negara; UU yang mengatur kehidupan berpolitik, maka kajian psikologi kepemimpinan politik dalam opini ini berusaha menyorot dari perspektif yang berbeda, yaitu manusia dan perilaku.

Dalam berpolitik di era demokrasi saat ini, negara tidak hanya membutuhkan individu-individu yang berpartisipasi dalam parpol dan menjadi politisi, namun juga politisi-politisi yang memiliki nilai moral, etika dan emosi moral sejalan dengan kepentingan rakyat.

Negara ini sudah terlalu banyak memiliki politisi yang mumpuni, namun masih memiliki sedikit politisi yang memiliki nilai dan emosi moral yang mengarah kepada kepentingan terbaik rakyat, dan masih di dominasi kepada kepentingan golongan bahkan kelompok tertentu disetiap periode ke periode.

Hal ini ditandai dengan berbagai peristiwa pidana yang melibatkan para politisi seperti korupsi, penyuapan, pungutan liar dan pencucian uang, bahkan akhir-akhir ini publik dipertontonkan dengan tindakan seorang pejabat publik di Halmahera Utara.

Dengan membuat gerah para aktivis dan netizen yang penulis mengutip narasi dari kompas.com video viral yang memperlihatkan Bupati Halmahera Utara, (FM) menggunakan parang dan mengejar mahasiswa yang berdemonstrasi.

Akibatnya para demonstran pun berlarian bahkan sampai ke rumah-rumah warga. Dari berbagai peristiwa ini ada semacam indikator dari absennya nilai dan emosi moral yang tak etis itu, seharusnya tidak melekat pada kepemimpinan publik.

Kajian-kajian terhadap isu politik dan demokrasi sudah selayaknya mempertimbangkan kondisi psikologis manusia sebagai usaha mengidentifikasi “makhluk politik” ini tugasnya parpol sebagai instrument rekrutmen kader pemimpin bangsa yang ingin mengabdi dan bekerja untuk kepentingan rakyat.(*)

Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi. Selasa, 4 Juni 2024.

Exit mobile version