Antara Parang dan Demonstran

Demokrasi Maksuuuddd..!

Partai politik (parpol) saat itu hanya menjadi alat kekuasaan yang digunakan oleh sebagian elit untuk memenuhi ambisi politiknya. Bahkan hingga saat ini, penyakit yang mendera parpol masih dialami sebagian besar parpol di Indonesia sampai di daerah.

Dalam kaitannya dengan isu politik, emosi moral pemimpin adalah konstruk psikologis yang harus hadir sebagai panduan perilaku politik, terutama seorang pemimpin politik yang harus menjadi role model bagi rakyat.

Nilai dan emosi moral pemimpin menjadi dua konstruk psikologis yang harus berinteraksi dalam pribadi para pemimpin politik dalam pemerintahan masa kini.

Jika kajian-kajian politik pada umumnya didominasi pada kajian tentang sistem tata negara; UU yang mengatur kehidupan berpolitik, maka kajian psikologi kepemimpinan politik dalam opini ini berusaha menyorot dari perspektif yang berbeda, yaitu manusia dan perilaku.

Dalam berpolitik di era demokrasi saat ini, negara tidak hanya membutuhkan individu-individu yang berpartisipasi dalam parpol dan menjadi politisi, namun juga politisi-politisi yang memiliki nilai moral, etika dan emosi moral sejalan dengan kepentingan rakyat.

Negara ini sudah terlalu banyak memiliki politisi yang mumpuni, namun masih memiliki sedikit politisi yang memiliki nilai dan emosi moral yang mengarah kepada kepentingan terbaik rakyat, dan masih di dominasi kepada kepentingan golongan bahkan kelompok tertentu disetiap periode ke periode.

Hal ini ditandai dengan berbagai peristiwa pidana yang melibatkan para politisi seperti korupsi, penyuapan, pungutan liar dan pencucian uang, bahkan akhir-akhir ini publik dipertontonkan dengan tindakan seorang pejabat publik di Halmahera Utara.

Dengan membuat gerah para aktivis dan netizen yang penulis mengutip narasi dari kompas.com video viral yang memperlihatkan Bupati Halmahera Utara, (FM) menggunakan parang dan mengejar mahasiswa yang berdemonstrasi.

Akibatnya para demonstran pun berlarian bahkan sampai ke rumah-rumah warga. Dari berbagai peristiwa ini ada semacam indikator dari absennya nilai dan emosi moral yang tak etis itu, seharusnya tidak melekat pada kepemimpinan publik.

Kajian-kajian terhadap isu politik dan demokrasi sudah selayaknya mempertimbangkan kondisi psikologis manusia sebagai usaha mengidentifikasi “makhluk politik” ini tugasnya parpol sebagai instrument rekrutmen kader pemimpin bangsa yang ingin mengabdi dan bekerja untuk kepentingan rakyat.(*)

Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi. Selasa, 4 Juni 2024.

Selanjutnya 1 2 3

Komentar

Loading...