Oleh: Muhammad Hatta Abdan
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Khairun Ternate)
Pendidikan merupakan ruang tempuh dan aman bagi siapa pun untuk merasakannya, negara harus mengiyakan ini sebagai sebuah uapaya untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM), dan juga sebagai wujud dalam melaksanakan amanat yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yakni mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
Pendidikan dari jenjang sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi merupakan mimpi dan impian dari kebanyakan anak di hampir semua pelosok untuk mencicipinya, apalagi perguruan tinggi. Negara tak berhak membatalkan mimpi dan impian ini dengan menghadirkan sistem yang kental dengan balutan kapitalisasi yang melengserkan sepihak, dalam hal ini anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan rendah.
Terlepas dari pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan menengah atas, tentu setiap anak punya mimpi dan cita-cita yang hampir sama terpatri di sanubari mereka, yaitu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Maka wajib bagi negara untuk menggalang mimpi dan cita-cita ini dengan sungguh dan adil tanpa harus libatkan sistem yang kapitalistik ke dalam cita-cita ini.
Namun sayang, sebagian dari mereka tak mampu menikmati kehidupan yang disebut dunia kampus itu, minimnya anak-anak untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi bukan tanpa alasan, tapi punya beragam alasan, salah satunya adalah karena mahalnya biaya pendidikan perguruan tinggi di negeri ini. Hingga separuh dari generasi bangsa ini harus menenggelam semua mimpi dan cita-cita itu kedasar yang paling mengiris.
Wajah pendidikan negeri ini terlalu lemah dalam melawan cekikan kapitalisasi, perguruan tinggi menjadi contoh nyata betapa kuatnya kapitalisasi menjalar dan mengakar, hal ini dapat kita buktikan lewat kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dibeberapa kampus akhir-akhir ini.
Kenaikan UKT ini tanpa sadar telah dengan perlahan hendak mengubur semua mimpi-mimpi panjang dari mahasiswa yang menekuni proses kuliah dengan tekun dan penuh harapan, negara mestinya tahu bahwa dari ribuan mahasiswa yang ada tidak semua adalah kelas-kelas sosial yang mampu, sebagain dan hampir lebih adalah mereka yang masih memanfaatkan ruang aktivitas menanam (petani) dan nelayan sebagai pintu masuk untuk membayar segala keperluan dan kebutuhan di dunia kampus.
Perguruan tinggi atau dunia kampus tak lagi mencerahkan dan mencerdaskan, tingginya biaya perkulihan dari masa ke masa selalu saja membatalkan sebagian cita-cita anak muda yang hendak menempuhnya, Indonesia masih saja berkutat dengan sistem pendidikan yang tidak setara dan seimbang, hingga kesan yang didapat dari problem ini adalah ketidak-setaraan setiap anak untuk menikmati pendidikan perguruan tinggi dengan tidak adanya beban berat dari biaya yang teramat mahal.
Poteret mahalnya Uang Kuliah Tunggal hari ini berlangsung di tengah kesengsaraan ekonomi rakyat yang tidak stabil, kemampuan untuk mencukupi segala kebutuhan tuntutan dunia kampus dan lain-lain menjadi jalan curam yang tak bisa dijeda, negara lewat modelnya yang kapitalistik makin mempersulit dan mempersempit ruang gerak rakyat untuk meraup segala mau yang mereka kehendaki, pendidikan tak lagi bermuara secara berimbang kepada seluruh, hingga yang terjadi adalah keputus-asaan yang menyedihkan.
Polemik kenaikan Uang Kuliah Tunggal di sejumlah kampus akhir-akhir ini makin mencuat ke permukaan, semua kalangan dibikin terkejut oleh kebijakan ini. Wacana dan gerakan mulai perlahan terbangun guna menginterupsi persoalan ini, meroketnya Uang Kuliah Tunggul (UKT) menjadi wejangan yang sangat hangat di bahas diberbagai kalangan hari-hari ini, sebab sangat terasa betapa sungguh keterlaluanya mereka yang mengurus pendidikan kita hari ini.
Padahal pada tanggal 2 Mei kemarin tepatnya di hari pendidikan nasional, telah lahir berbagai harapan akan pendidikan bangsa ini ke depan, namun seusai momentum itu, harapan akan pendidikan kita ke depan hanyalah ilusi belaka yang tak bermakna, pendidikan kita makin terlihat gelap dengan segala keruwetan yang diilhami oleh negara atas nama sistem.
Berbagai media telah merilis dan mengabarkan perihal persoalan kenaikan Uang Kuliah Tunggal ini, seperti di kutip dari Kontan.co.id. Dengan judul “Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Mulai Dirasakan oleh Sejumlah Perguruan Tinggi” (Kamis, 23 Mei 2024. Meroketnya Uang Kuliah Tunggal telah menjadi isu hangat di tengah masyararakat, pasalnya kebijakan ini dianggap dapat membebankan bagi orang tua mahasiswa yang berpenghasilan ke bawah.
Baca Halaman Selanjutnya..
Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) ini berdasrakan Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 yang kemudian juga dilanjutkan dengan Keputusan Mendikbud Nomor 54/2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi. Dan kata Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Memendikbud Ristek), Nadiem Makarin, bahwa kenaikan UKT hanya berlaku untuk mahasiswa baru bukan untuk seluruh mahasiswa.
Namun pada kenyaatannya, sesui dengan fakta yang disampaikan oleh Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Universitas Mataram (Unram), Nusa Tengara Barat (NTB), Herianto bahwa mereka melihat khususnya di NTB, di Unram, orang tua mahasiswa baru sama saja seperti orang tua mahasiswa lama, karena rata-rata petani yang berpenghasilan menengah ke bawah. Kawan Herianto juga menyayangkan narasi yang disampikan oleh Mendikbud bahwa kenaikan UKT hanya orang tua yang berpenghasilan menengah ke atas.
Berdasarkan persoalan dari melonjaknya Uang Kuliah Tunggal yang terjadi hari-hari ini, telah mengalihkan ribuan mata untuk melihat dan memperbincangkan hal ini. Isu ini menjadi paling hangat yang dibahas oleh berbagai kalangan, bahkan sudah ada gerakan demonstrasi dari beberapa kampus yang terkena dampak dari kenaikan UKT ini.
Ada sejumlah perguruan tinggi yang menaikan biaya UKT-nya, di antaranya adalah Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Brawijaya (UB), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Instutit Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Universitas Riau (UNRI), Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), dan Universitas Padjadjaran (UNPAD) Kompas.com, (17 Mei 2024).
Dari beberapa Universiatas di atas, tentu masih akan ada lagi universitas-universitas lain yang menaikan biaya UKT-nya berdasarkan regulasi dari kementerian pendidikan. Bila memang benar akan masih ada lagi, maka semua mimpi dan cita-cita dari setiap anak bangsa untuk melanjutkan perguruan tinggi akan redup dengan perlahan, seperti kasus yang dialami oleh Siti Aisyah, yang hendak berkuliah di Universitas Riau, namun karena tidak sanggup membayar UKT perempuan 18 tahun yang lolos lewat jalur prestasi ini kemudian memilih mundur lantaran tidak sanggup mebayar Uang Kuliah Tunggal, (Kanal Facebook Ahmadinejad Sosial Power).
Upaya untuk membatalkan kebijakan yang tidak setara ini harus terus kita galakkan, mimpi dan cita-cita anak bangsa tak boleh berhenti hanya karena uang, semua dari kita berhak merasakan dunia kampus yang menjadi tempat kita untuk mengasah potensi diri. Pendidikan kita tak boleh selamanya terpenjarah, kapitalisme harus kita tendang, sebab cekikan merekalah yang mengakibatkan kelas-kelas sosial ke bawah tak mampu menjaungkau semua akses ruang kehidupan, termasuk pendidikan.
Sebab, kata Darmaningtyas dan kawan-kawan, kapitalisme akademik yang dbiarkan terus menerus bukan hanya meminggirkan orang miskin dari ekses pendidikan, tapi juga dari akses pelayanan kesehatan dan hak hidup. Fenomena kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) hari ini adalah wujud nyata kuatnya kapitalisme di ruang-ruang akademik, kampus tak lagi bersiasat untuk mengagendakan perhelatan antar pikiran lewat diskusi-diskusi ilmiah, yang ada hanyalah penyempitan ruang berekspresi untuk menyatakan pendapat, dan menaikan biaya pendidikan yang tinggi.
Inilah yang hanya mampu dilakukan oleh negara yang kapitalistik, hingga mahasiswa-mahasiswa yang dilahirkan hanya mahasiswa yang berwatak penindas dan penghisap. Batalkan kenaikan UKT dan hadirkan pendidikan yang gratis.
Sekian, selamat membaca.!!(*)
Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi, Rabu 29 Mei 2024.