Manusia dan Filosofi Ibadah Haji

Ia bermula dari kesadaran akan jatidiri (fithrah) serta keharusannya menyesuaikannya diri dengan tujuan kehadiran di pentas bumi ini. Kemanusiaan menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin makhluk-makhluk lain dalam mencapai tujuan penciptaan.

Kemanusiaan mengantarkannya untuk menyadari bahwa ia adalah makhluk yang harus bertanggung jawab menjadi pemimpin. Kemanusiaan mengatarkannya untuk sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian dan harus bertenggangrasa dalam berinteraksi.

Dalam khutbah haji Wada’ Nabi menekankan akan pentingnya makna persamaan,  keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain, larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah, baik dalam bidang ekonomi maupun bidang-bidang lainnya. Pandangan Nabi di atas telah menjadi  bukti sejarah bahwa ada keterkaitan erat antara ibadah haji dengan nilai-nilai kemanusian universal.

Terdapat seperangkat aktivitas simbolik tentang perjalanan umat manusia menuju tingkat ketakwaan sejati. Haji juga merupakan upaya pengejawantahan kesetaraan baik dalam persepsi teologis maupun sosiologis. Semua manusia bergerak seirama dan senada dalam posisi kemanusian yang sama. Tiada yang mulia maupun yang hina, karena yang ada hanyalah dua eksistensi, Tuhan dan manusia yang menyatu dalam sebuah momen ritual yang unik.

Namun sayangnya, tradisi masyarakat yang sangat berlebihan dalam memuliakan para haji telah merubah substansi makna dan tujuan awalnya.  Selain pesan abadi rasulullah saat berhaji wada’ (haji terakhir Nabi), Rasul juga berpesan kepada ummat manusia agar bisa memelihara jiwa, harta, dan kehormatan sesama manusia (al-madina; al-amwal wa al-a’radl; life, property and honor). Tiga pesan inilah, yakni prinsip kesucian hidup, harta, dan kehormatan manusia, ternyata ikut serta memengaruhi pikiran dan perilaku seluruh ummat manusia. (Zainuddin;11/11/2013)

Pada perkembangannya, Giovani memang dialienasikan masyarakat karena paham kemanusiaannya itu. Tapi, rintisan pikirannya telah menyebar ke seluruh Eropa dan menjadi bagian dari mainstream yang begitu hangat diperdebatkan. Sangat mungkin sekali, trilogi prinsip Rasul “al-dima; al-amwal wa al-a’radl,” telah menetes dan mengilhami para tokoh kemanusiaan, seperti John Locke melalui slogannya: life, liberty and property, dan juga merembes ke Thomas Jefferson yang terkenal dengan slogan: life, liberty, and pursuit of hsppiness.

Oleh karena komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan secara universal, maka inilah hakikat sejati haji. Yakni, haji sebagai pengalaman, dan sekaligus sebagai penghayatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Itulah sebabnya, pemikir Islam, Iran, Ali Syari’ati berfatwa, “Wahai Haji, ... Setiap hari adalah hari pengorbanan, setiap bulan adalah bulan dzulhijjah, dan setiap negeri adalah Mina, ...serta di setiap saat di dalam hidupmu, engkau adalah Haji.”

Jangan sampai Ibdah haji tak meninggalkan nilai apa-apa kecuali sekedar bertambahnya gengsi dan status sosial atau barangkali sekedar pengayaan, pengalaman dan kenikmatan spritual, jika di jalankan tanpa proses penyadaran, internalisasi, dan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan universal yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam sederetan ritus prosesi haji.(*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi, Senin 20 Mei 2024.

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...