Stunting Ancam Penduduk Lingkar Tambang

Penanganan Stunting Butuh Kolaborasi
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), Riskal Muslim mengatakan, kehadiran tambang selain berpengaruh terhadap lingkungan, juga membawa perubahan signifikan dalam pola hidup masyarakat. Sehingga berdampak juga terhadap pemenuhan pangan masyarakat. Karena sebagian masyarakat yang kurang mampu, tentu akan mengonsumsi makanan dengan gizi yang rendah.
Aspek lingkungan memiliki kontribusi dengan kejadian stunting. Jika perubahan lingkungan berhubungan dengan aktivitas pertambangan, maka pihak perusahaan juga harus bertanggungjawab dan membantu pemerintah untuk penanganan stunting, jelas Riskal.
Menurut dia, pengaruh udara yang kotor dapat memicu terjadinya stunting. Sebab, beberapa ahli kesehatan berpendapat bahwa polusi bisa mengakibatkan infeksi saluran pernapasan. Infeksi ini membuat anak sering sakit, akibatnya menjadi malas makan. Walhasil, gizi mereka pun terganggu. Jika terlalu sering sakit, akhirnya berdampak pada tumbuh kembangnya, sehingga anak atau balita tersebut bisa berpotensi mengidap stunting.
Lingkungan dan pangan merupakan bagian intervensi spesifik dari penanganan stunting dan memiliki tingkat keberhasilan 70 persen. Sedangkan intervensi spesifik yang sudah dikerjakan dinkes, puskesmas, dan jaringannya hanya memiliki daya ungkit 30 persen. Karena itu, perlu kolaborasi dari berbagai stakeholder untuk mengmbil peran dalam menangani stunting tersebut.
Maka Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) di provinsi dan Kabupaten Halteng perlu meningkatkan upaya penguatan kinerja lintas sektornya. Sebagaimana diketehui, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pernah merilis balita yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal dan menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit tertentu.
Akibatnya, si anak di masa depan dapat berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Ujung-ujungnya, stunting ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan di masyarakat. Artinya, jika lingkungan dan pangan tidak memadai, maka risiko stunting menjadi lebih besar dan berdampak ke berbagai sektor, pungkasnya.
Senada, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Malut dr. Alwia Assagaf menyatakan, penanganan stunting harus terintegrasi di semua tingkatan dan memerlukan peran seluruh pihak, baik keluarga sampai pemerintah. Sebab stunting hanya salah satu dari masalah gizi yang dialami seorang anak. Sehingga tata laksananya tidak hanya dari satu tingkatan. Dengan demikian, intervensinya harus memulai dari gadis atau anak berusia remaja, agar bisa memiliki gizi baik sebagai persiapan ketika hamil nanti.
Selanjutnya, sasaran difokuskan pada seribu hari pertama kehidupan anak (HPKA), yaitu pada ibu hamil hingga anak berusia dua tahun. Karena masa ini menurut penelitian, paling banyak anak mengalami gangguan pertumbuhan. Mulai dari pemberian makanan yang memenuhi nilai gizi, edukasi, periksa kehamilan teratur, ikut posyandu teratur sampai berusia lima tahun dan imunisasi.
Alwia menegaskan, mau menetap di lingkar tambang atau di mana pun, cara penanganannya harus dilakukan bersama semua pihak yang memiliki peran sesuai tugas di tiap tingkatannya. Khusus para dokter, kata dia, berperan di fasilitas kesehatan dan memberikan edukasi ke masyarakat (orang tua-red) serta advokasi ke pihak yang berperan di tingkat lain, seperti PKK, pemda di level kelurahan, desa sampai provinsi maupun guru.
"Termasuk juga pihak swasta, seperti tambang ini perlu berperan dalam menekan angka stunting," pungkas Alwia. (cr-01/rul)
Komentar