Stunting Ancam Penduduk Lingkar Tambang

Walhasil, Thiago kerap menderita batuk setiap bulannya. Anita menduga batuk yang menyerang putranya akibat debu tersebut. Sebab Thiago juga Anita, tentu menghirup debu itu setiap waktu.
"Kalau mau bilang pengaruh (kehadiran tambang-red), ya pengaruh sekali. Dia (Thiago) pe penyakit tiap bulan tara lain cuma batuk (penyakitnya setiap bulan tidak lain hanya batuk)," bebernya.
Setelah hadirnya perusahaan tambang, dalam hal ini PT IWIP, Anita dan keluarganya kesulitan mendapatkan makanan yang sehat untuk asupan gizi balitanya. Terutama ikan, sayur dan buah-buahan.
Harga bahan pangan melejit ketika perusahaan masuk ke kampung. Tambang merusak lingkungan, juga membawa migrasi besar-besaran (pekerja dari luar-red) ke kampungnya. Akibatnya, untuk harga ikan, kata Anita, sekilo mencapai Rp35 ribu.
Sebagai ibu rumah tangga yang mengandalkan jualan online, tentu kebutuhan pokok untuk asupan gizi tersebut memberatkannya. Apalagi, suaminya Herdion Kore, kini sudah berhenti kerja di PT IWIP sejak dua tahun lalu. Namun, detail penghasilannya per bulan dan alasan suaminya keluar dari perusahaan enggan dibeberkan Anita.
Meski begitu, Anita tak menampik bahwa salah satu penyebab anaknya stunting juga karena asupan gizi yang masuk ke tubuhnya kurang.
Di mana saat masa kehamilan, Anita jarang mengonsumsi makanan bergizi seimbang lantaran, ada beberapa alasan, salah satunya faktor psikologis. Selain itu, ia juga hanya mau mengonsumsi gorengan yang masih hangat ketika hamil. Kondisi ini berjalan hampir lima bulan di masa kehamilannya. Bahkan, dalam masa menyusui juga asupan gizi Anita begitu minim, sehingga air susu yang diproduksi pun sangat sedikit.
"Kalau ada yang bikin saya marah (waktu hamil-red), itu saya sudah tidak mau makan," tutur Anita.
Namun, untuk saat ini, asupan gizi Thiago sudah mulai membaik, meski berat badannya belum ideal. Terakhir kali ditimbang berat badan Thiago sekitar 8,7 kilo gram. Padahal, untuk berat ideal balita umur dua tahun adalah 9,7 sampai 15,3 kilo gram. Sementara itu, untuk berat badan pas lahirnya, berada di bawah berat normal (2,5 kg) atau hanya di angka 2,3 kilo gram.
Menurut Anita, Thiago mulai membaik dalam mengonsumsi makanan dan mendapatkan asupan makanan bergizi seimbang. Dia juga hanya makan ikan atau kuah ikan. Khusus ikan, Thiago tidak mengonsumsinya setiap hari. Karena selain harga ikan mahal, putranya juga tidak begitu doyan makan ikan. Bahkan, Thiago akhir-akhir ini mulai menyukai buah semangka. Sehingga ketika ada penjual buah lewat, Anita membeli semangka jika stoknya ada. Sayangnya, penjual buah ini tidak setiap hari melewati rumahnya.
"Jadi dia (Thiago) juga tidak begitu suka makan ikan," pungkas Anita.
Banyak Faktor Penyebab
Sementara itu, Petugas Gizi Puskesmas Lelilef, Erni Amat mengakui, penyebab balita stunting di wilayahnya juga karena faktor lingkungan, meskipun ada banyak faktor lain yang menjadi pemicunya. Terutama kebersihan lingkungan.
Di Lelilef, polusi atau debu yang beterbangan begitu banyak akibatnya udara menjadi tidak sehat. Selain itu, cenderung stunting dipicu karena faktor genetik dan pemikiran tradisional berupa keturunan fisik, seperti keyakinan bahwa ibunya merupakan keturunan tubuh pendek. Sehingga anak yang lahir pendek saat masih bayi, dimaklumi sebagai keturunan sang ibu.
Adapun faktor pengetahuan orang tua dalam mengasuh balitanya yang masih minim. Lingkungan memang berpengaruh, karena di sini kan banyak polusi. Artinya, faktor kebersihan bisa memicu terjadinya stunting, terang Erni.
Dia membeberkan, per November tahun 2023, kasus stunting di lima desa wilayah kerjanya sebanyak 17 balita, salah satunya Thiago putra Anita tersebut.
Dari lima desa wilayah kerja Puskesmas Lelilef yang berada di lingkar tambang ini, jumlah tertinggi ada di Desa Kobe Gunung dengan enam balita stunting, disusul Sawai empat, Waibulen dan Sawai Itepo masing-masing tiga serta Desa Lukulamo dengan satu balita stunting.
Angka tersebut meningkat dibanding triwulan satu pada tahun ini, yang ada 14 balita stunting. Begitu pun dengan dua tahun terakhir ini, di mana pada 2021 lalu terdapat 13 balita stunting. Lalu, pada 2022 sempat mengalami penurunan hingga hanya sembilan balita stunting, tetapi tahun ini angkanya kembali melejit. Kalau data di tahun 2021 ke bawah belum kita himpun ke aplikasi, jelas Erni.
Dari 17 balita penderita stunting ini, tujuh di antaranya merupakan penduduk asli, sedangkan sepuluh lainnya pendatang. Belakangan ini, kebanyakan masyarakat yang ikut posyandu di Puskesmas Lelilef lebih didominasi pendatang dari luar daripada penduduk asli.
Akibatnya status gizi bayi atau balita dari penduduk asli justru tidak diketahui dan dilakukan pemantauan rutin puskesmas.
Padahal, setiap bulan puskesmas melakukan posyandu di lima desa tersebut. Namun, partisipasi penduduk asli sangat minim.
Dia berpendapat, para pendatang yang lebih sadar diri terkait pentingnya posyandu ketimbang penduduk asli. Kalau penduduk asli kan bagus, kita bisa pantau penduduk aslinya sekian, status gizinya sekian. Tapi, mungkin di sini orang-orangnya (penduduk asli-red) sudah banyak duit, jadi posyandu yang Cuma beberapa menit, mereka tidak bisa hadir, kata Erni kesal.
Baca halaman selanjutnya...
Komentar