KEK Mati di Lumbung Tuna

Berdasarkan data ekspor tuna dua tahun terakhir yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Pulau Morotai yang dilakukan pihak swasta yakni PT. Harta Samudera yaitu sebagai berikut:
Ekspor tuna 2022
Tuna loin, Januari 1,920, Februari 48,226, Maret 29,040, April 25,080, Mei 24,540, Juni 1,830, Juli 2,760, Agustus 29,820, September 61,870, Oktober 13,470, November 5,460, Desember 47,880. Total 291,896 ton.
Baby Tuna, Januari 2,830, Februari 0, Maret 25,675, April 20,920, Mei 4,194, Juni 8,200, Juli 19,434, Agustus 31,704, September 53,020, Oktober 72,986, November 68,260, Desember 38,654. Total 345,877 ton.
Ekspor tuna 2023
Tuna loin, Januari 2,580, Februari 39,197, Maret 7,920, April 23,940, Mei 50,400, Juni 62,530, Juli 126,480, Agustus 61,110, September 49,140, Oktober 47,880, November 23,940, Desember 0. Total 495,117 ton.
Baby Tuna, Januari 2,624, Februari 33,886, Maret 13,792, April 7,200, Mei 6,320, Juni 9,762, Juli 3,700, Agustus 15,720, September 0, Oktober 0, November 0, Desember 0. Total 93, 004 ton.
Sementara Kepala Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Morotai, Mahli Aweng mengatakan pengelolaan perikanan di Morotai pada umumnya masih banyak kendala harus diselesaikan. Sebagai pihak pengelola KEK, PT Jababeka sampai saat ini belum membangun komunikasi dengan SKPT soal pengembangan perikanan.
Padahal sesama pihak yang ditetapkan dalam program nasional, seharusnya ada sinergitas. “Belum ada komunikasi sama sekali dalam hal pengembangan KEK. Karena pengembangan KEK di sektor perikanan juga belum jalan sampai saat ini,” katanya.
Sebagai lembaga yang bernaung di bawah KKP, Mahli juga menilai, Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai juga dinilai terkesan tidak mendukung program-program perikanan, sehingga menimbulkan berbagai macam masalah yang dihadapi para nelayan.
Misalnya pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) subsidi ke nelayan yang tidak sesuai dengan rekomendasi Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BH-Migas). Sebab penyaluran BBM tidak langsung ke kapal ikan, malah melalui suplier yang akhirnya banyak nelayan yang tidak memperoleh jatah BBM subsidi sesuai kebutuhan.
“Pemda tidak jelas dalam mendistribusi BBM subsidi ke nelayan karena tidak sesuai prosedur yang akhirnya menyebabkan kenaikan harga BBM subsidi atau harganya tidak sesuai yang telah ditetapkan. Ujung-ujungnya nelayan yang menjadi korban, karena terkesan dipersulit” kesalnya.
Kemudian masalah lain dalam pengembangan perikanan juga yaitu, ada pihak swasta yang terkesan monopoli pengelolaan sektor perikanan yang mengakibatkan koperasi perikanan tidak jalan dan harus ditutup. Padahal tujuan utama pembangunan SKPT itu dalam rangka menghidupkan koperasi untuk mendukung ekonomi masyarakat.
Namun Pemda Morotai memilih menghapus status koperasi dengan memasukkan pihak swasta yakni PT Harta Samudera untuk mengelola fasilitas yang ada di SKPT. Dalam rangka pengembangan perikanan, saat ini pihak SKPT sementara membangun tambahan ruang pendingin ikan 200 ton, pabrik es dan fasilitas pendukung lainnya.
Ditargetkan pada pertengahan 2024 pengembangan tersebut sudah selesai sehingga bisa dioperasikan. Ketika pengembangan SKPT selesai, maka diwajibkan seluruh kapal untuk beraktivitas di SKPT disertai dengan surat-surat kapal yang jelas.
“Kami pastikan ketika pengembangan SKPT selesai, maka kita akan tertibkan seluruh aktivitas kapal perikanan yang beraktivitas di Morotai. Sehingga pengelolaan perikanan Morotai berjalan sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan, dengan tujuan mempermudah nelayan tanpa ada yang dikorbankan,” tegasnya.
Pengelolaan KEK di sektor perikanan yang belum maksimal juga diakui Pemda Pulau Morotai. Selain kurangnya investasi, sektor perikanan dalam pengelolaan KEK juga masih terkendala berbagai macam fasilitas pendukung. Mulai dari tidak layaknya kontainer, kapasitas tol laut yang hanya memuat delapan kontainer dalam sekali pengiriman per bulan juga fasilitas infrastruktur pelabuhan yang tidak mendukung. Akhirnya hasil dari Morotai hanya bisa dikirim sampai ke Surabaya untuk diekspor ke luar negeri.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pulau Morotai, Yoppy Jutan mengatakan, untuk ekspor perikanan wilayah 3TP (terdepan, terluar, tertinggal dan perbatasan) termasuk Morotai masuk dalam penugasan yaitu, hanya ekspor melalui tol laut karena tidak ada aksesibilitas untuk kargo pesawat. Sehingga komoditi ekspor seperti tuna dari wilayah jauh hanya menggunakan tol laut untuk ke Surabaya.
Di sisi lain, ekspor langsung ke luar negeri juga tidak mudah karena harus melalui berbagai macam tahapan dan syarat yang harus dipenuhi. Misalnya setiap pengelolaan ikan ekspor harus memiliki standar kelayakan produk dan harus berproses sesuai dengan standar. Kemudian syarat tambahan ke negara tujuan seperti nomor register.
Baca halaman selanjutnya...
Komentar