Catatan Hari Anti Korupsi 9 Desember
Ketika Opini Menghukum Lebih Cepat dari pada Hukum
Oleh: Rusdi Abdurrahman
(Pewarta)
Hari Anti Korupsi Sedunia yang diperingati setiap 9 Desember semestinya menjadi momentum refleksi bersama untuk menegaskan kembali bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya soal memperbanyak operasi tangkap tangan, memperkeras opini publik, atau memperluas stigma sosial, tetapi tentang memastikan berjalannya hukum secara adil dan berimbang, tanpa digiring oleh persepsi, apalagi oleh tekanan sosial yang kadang jauh lebih kejam daripada putusan pengadilan.
Dalam konteks Indonesia hari ini, peringatan 9 Desember 2025 menghadirkan keprihatinan baru: munculnya kecenderungan publik menghukum terlebih dahulu sebelum proses hukum benar-benar menemukan kebenaran.
Baca di: Koran Digital Malut Post Edisi Selasa, 9 Desember 2025
Di titik ini, paradigma tentang korupsi menjadi penting untuk terus dijelaskan. Secara hukum, tindak pidana korupsi mensyaratkan adanya perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, dan terutama kerugian keuangan negara yang nyata dan dapat dihitung.
Undang-Undang Tipikor tidak dirancang untuk menghukum opini, rumor, atau kesan-kesan moral, melainkan untuk membuktikan apakah benar ada uang negara yang dirugikan atau diselewengkan.
Para ahli hukum seperti Prof. Romli Atmasasmita dan Prof. Eddy O.S. Hiariej berulang kali menegaskan bahwa korupsi tidak cukup hanya dibangun dari persepsi publik, tetapi harus berdasarkan konstruksi hukum yang objektif, bukti yang terukur, dan pembuktian yang ketat.
Sayangnya, di tengah derasnya arus media sosial, batas antara dugaan dan kepastian hukum seringkali kabur. Opini publik bergerak jauh lebih cepat daripada kerja-kerja penegakan hukum.
Ketika sebuah kasus baru memasuki tahap penyelidikan, publik sering kali sudah menjatuhkan vonis moralnya. Hal inilah yang tampak jelas dalam kasus yang menimpa salah satu pejabat sekretariat DPRD Provinsi Maluku Utara.
Baca Halaman Selanjutnya..