Kebijakan Fiskal ”Tabola-bale”
Oleh: Douglas Panit, S.IP
Disclaimer : Tulisan ini adalah refleksi atas kegelisahan publik sekaligus tawaran alternatif pikiran atas kebijakan fiskal negara yang memotong dana transfer daerah pada skema APBN 2026.
Hitungan mundur potongan dana transfer ke daerah (TKD) dimulai. APBN 2026 sudah diketuk. Kepastian mengenai pemotongan dana transfer ke daerah (TKD) untuk tahun anggaran 2026 sebesar Rp269 triliun bukan sekadar angka dalam nota keuangan negara.
Ini adalah sinyal kuat, sebuah alarm yang berbunyi nyaring di seluruh pelosok negeri, menandakan babak baru yang penuh ketidakpastian bagi otonomi daerah dan, yang terpenting, bagi kualitas pelayanan publik yang diterima oleh jutaan rakyat Indonesia. Kebijakan ini, yang diumumkan dengan dalih efisiensi, telah menebar kekhawatiran serius di tingkat regional.
Baca di: Koran Digital Malut Post Edisi Rabu, 3 Desember 2025
Pemerintah pusat membingkai kebijakan ini dengan dua narasi utama: efisiensi anggaran dan pencegahan potensi penyelewengan dana di daerah. Dari perspektif teknokratis di Jakarta, langkah ini mungkin terlihat logis.
Anggaran negara yang ramping dianggap lebih sehat, dan sentralisasi kontrol dianggap sebagai obat mujarab untuk penyakit korupsi dan inefisiensi yang kerap dituduhkan kepada pemerintah daerah.
Logika ini menempatkan pemerintah pusat sebagai principal yang bijak, yang harus mengendalikan para agent di daerah yang dianggap kurang cakap atau rentan terhadap penyimpangan.
Namun, di balik logika efisiensi tersebut, terbentang realitas pahit yang akan dihadapi oleh daerah. Bagi pemerintah daerah, dana transfer bukanlah sekadar bonus, melainkan napas utama penyelenggaraan pemerintahan.
Pemotongan anggaran yang signifikan ini merupakan pukulan telak yang akan melumpuhkan berbagai program esensial. Pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, dan irigasi terancam mangkrak.
Baca Halaman Selanjutnya..