UPACARA YANG BASAH
Oleh: Rusdi Abdurrahman
(Pewarta)
Hujan yang turun pada Senin, 1 Desember itu datang tanpa permisi. Ia menembus barisan ASN yang sedang bersiap memperingati HUT Korpri sekaligus menyaksikan penyerahan SK PPPK paruh waktu di Kota Ternate. Semua berlangsung seperti rutinitas birokrasi yang kita kenal: upacara, barisan, inspektur, dan prosedur yang dibaca dengan intonasi resmi. Tetapi yang membuat upacara hari itu berbeda adalah satu hal sederhana, yang justru di luar skenario: hujan yang jatuh begitu deras saat momen mengheningkan cipta.
Biasanya, ketika hujan datang pada sebuah upacara formal, peristiwa itu dibaca sebagai hambatan. Namun kali ini hujan justru menjadi bahasa lain yang memperlihatkan sisi paling manusiawi dari ASN Kota Ternate, pejabat maupun staf, tanpa kecuali. Saya melihat beberapa orang mundur perlahan, mencari emperan warung terdekat dan bagian bangunan Kantor Wali Kota yang bisa memberi sedikit perlindungan. Wajar, siapa pun akan melakukan hal yang sama. Tetapi yang menarik, sebagian besar dari barisan justru tetap tinggal, tetap tegak, tetap membiarkan hujan mengalir di wajah dan seragam mereka. Tidak ada komando “bubar” atau “bertahan”, pilihan itu datang dari masing-masing individu, dan mungkin di situlah letak nilai simboliknya.
Dalam kelembaban yang menggantung dan genangan mulai memenuhi aspal, saya memperhatikan sesuatu yang jarang terjadi dalam upacara pemerintahan: pejabat eselon II, sekretaris daerah, wakil walikota, hingga wali kota sendiri ikut basah. Mereka berdiri di tempat yang sama, menerima guyuran air dengan intensitas yang sama, dan tidak bergerak meski pelipis mereka sudah basah sepenuhnya. Pada saat itulah, batas-batas birokrasi yang biasanya begitu tegas terasa seakan runtuh oleh derasnya hujan. Tidak ada yang tampak lebih istimewa, tidak ada yang diberi payung, tidak ada pula pengecualian yang sering kali membuat jarak antara atasan dan bawahan terasa begitu jauh. Semua menyelesaikan upacara dengan kondisi di mana alam memperlakukan mereka secara setara.
Di situ saya memahami sesuatu yang tak tertulis dalam undang-undang maupun petunjuk teknis organisasi: kadang, keteladanan lahir bukan dari pidato atau seremonial, tetapi dari situasi spontan yang memaksa keputusan moral diambil tanpa banyak pertimbangan. Keputusan pejabat untuk tetap bertahan tanpa disampaikan lewat kata-kata mengirim pesan lebih kuat daripada instruksi. Pesan bahwa jabatan tidak selalu harus berjalan berdampingan dengan privilese.
Selesai upacara, suasana yang tadinya tegang dan formal berubah menjadi seperti sebuah perayaan kecil. ASN yang basah kuyup justru menyatu dalam tawa, dan para pejabat ikut dalam lingkaran joget yang menghapus sekat dalam hitungan detik. Tidak lagi terlihat barisan rapi, tidak lagi terlihat wajah serius birokrasi, semua berganti dengan ekspresi lepas yang merekatkan mereka sebagai sesama manusia yang mengalami hujan bersama. Saya menyaksikan hubungan yang biasanya dingin dalam konteks pekerjaan mendadak mencair menjadi keakraban yang hangat. Seolah-olah hujan tadi adalah pembuka jalan yang tak terduga untuk mempertemukan mereka dalam situasi yang tidak terstruktur, tetapi penuh makna.
Dalam pandangan Budayawan Peter Carey, air hujan berfungsi sebagai agen pembersihan hierarki yang bersifat universal, dimana atribut status eksternal seperti seragam dan jabatan menjadi tidak relevan saat semua orang basah kuyup. Pada saat itu, manusia kembali terlihat sebagai individu biasa, bukan sebagai atasan atau bawahan. Yang basah bukan hanya pakaian atau seragam, tetapi juga batas-batas psikologis yang memisahkan orang berdasarkan pangkat atau jabatan mereka dalam struktur birokrasi yang kaku.
Joget setelah kehujanan adalah cara spontan ASN melepaskan tekanan kerja yang selama ini menumpuk”sebagai “ruang ekspresi yang tidak terstruktur”. Sebab birokrasi yang jarang tertawa bersama akan lebih mudah rapuh, karena hubungan internalnya berdiri di atas ketegangan.
Dan dari reaksi publik, masyarakat membaca kejadian itu sebagai sesuatu yang positif. Banyak yang mengapresiasi karena mereka jarang melihat pejabat turun ke level keseharian stafnya tanpa jarak. Banyak pula yang merasa bahwa momen seperti ini menghidupkan kembali nilai solidaritas yang kerap hilang dalam rutinitas administratif. Jagat media sosial hari itu dipenuhi dengan komentar yang sebagian besar bernada bangga dan haru. Mungkin karena di tengah derasnya kritik terhadap birokrasi, publik merindukan bukti kecil bahwa birokrasi masih bisa jujur, tulus, dan manusiawi.
Namun, catatan ini tidak ingin berhenti pada euforia sesaat. Momen kehujanan itu seharusnya menjadi pintu refleksi yang lebih luas. Sebab momen simbolik, betapapun kuat, bisa hilang begitu saja jika tidak diterjemahkan menjadi sikap berkelanjutan. Pertanyaannya adalah: apakah kesetaraan yang tampak pada upacara itu akan terbawa dalam rutinitas pemerintahan? Apakah keakraban di bawah hujan itu akan hidup dalam keputusan-keputusan struktural, dalam cara pelayanan diberikan, dalam cara pemimpin mendekati bawahannya, dalam cara ASN melayani masyarakat?
Hujan bisa membuat semua orang setara untuk satu jam. Tetapi kesetaraan sejati hanya lahir jika prinsip itu terus dirawat dalam setiap keputusan birokrasi. Jika pejabat merasa nyaman berdiri dalam barisan yang sama, maka ia juga harus merasa nyaman menerima kritik, mendengar keluhan staf, dan melihat warga sebagai subjek yang harus dilayani, bukan objek yang harus diatur. Dan jika ASN bisa tertawa bersama tanpa sekat, maka mereka juga harus bisa bekerja bersama tanpa prasangka struktural yang sering melemahkan kolaborasi.
Saya ingin percaya bahwa hujan pada 1 Desember itu bukan hanya kebetulan cuaca, tetapi bagian dari untaian pembelajaran birokrasi Kota Ternate. Peristiwa kecil yang memperlihatkan wajah birokrasi tanpa topeng, tanpa jarak, tanpa protokol yang membatasi. Jika momen ini benar-benar diserap dalam hati para ASN dan pemimpinnya, maka ia dapat tumbuh menjadi budaya kerja yang lebih sehat, lebih egaliter, dan lebih layak untuk publik yang berharap banyak dari pemerintahannya.
Dan mungkin, kelak jika hujan turun lagi pada sebuah upacara lain, kita tidak lagi melihatnya sebagai gangguan. Melainkan pengingat bahwa birokrasi yang kuat bukanlah yang sekering protokolnya, tetapi yang mampu basah bersama warganya dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam makna pelayanan yang lebih luas.