Nirempati Penyelenggara Negara
Oleh: Fadli Ilham
(Mahasiswa S3 FISIP Universitas Hasanuddin (Unhas) – Koord I Forum Komunikasi Pemuda (FKP) Maluku Utara)
Persoalan etika penyelenggara negara masih dipandang sebagai sesuatu yang mengapung. Acapkali hanya ditafsir dengan makna yang samar dan diselesaikan di ruang-ruang yang keruh. Berbeda dengan regulatif yang punya konsekuensi terhadap kepastian hukum.
Ketidakjelasan instrumen terhadap pelanggaran etika, dapat dikatakan sebagai salah satu faktor menjamurnya penyelenggara negara yang seenaknya bersikap amoral dan oportunis di ruang-ruang publik tanpa mempertimbangkan kebatinan rakyatnya.
Baca di: Koran Digital Malut Post Edisi Rabu, 26 November 2025
Bagaimana mungkin kita membayangkan Indonesia menjadi sebuah negara dengan keluhuran culture yang sudah terjamah pada pejuang dan tokoh bangsa sebagai karakter yang mengedepankan etika berbangsa dan bernegara.
Jika masih ada sikap penyelenggara negara pada lingkup eksekutif, legislatif dan yudikatif yang justru menjadi pemicu utama kegaduhan di tengah penderitaan rakyat.
Tahun ini, banyak persoalan kebuntuan karakter yang melekat dalam tubuh kekuasaan. Bukan hanya pada persoalan regulatif dan prosedural.
Tapi etika penyelenggara negara yang seringkali secara blak-blakan memperlihatkan kemunduran karakter—amat jauh dari fitrah para tokoh bangsa seperti yang diteladani Mohammad Hatta, Soekarno, Sutan Syahrir, dan pejuang bangsa lainnya.
Tragedi Agustus 2025, publik dipertontonkan dengan sikap penyelenggara negara menanggapi aspirasi publik tanpa mempertimbangkan kebatinan dan penderitaan rakyat. Dalam peristiwa ini, sejumlah legislatif kemudian diputuskan melanggar kode etik oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Baca Halaman Selanjutnya..