Menyaksikan NKRI dari Surga dan Neraka
BANDARA IMIP di Morowali tiba-tiba heboh lantaran tak adanya representasi negara di tempatkan di sana. Bandara itu terkesan bebas beroperasi untuk kepentingan perusahaan.
Bandara ini memang tidaklah ilegal. Meski bukan bandara komersil --hanya semata digunakan untuk kepentingan perusahaan--, tapi proses perizinan dan ketentuan sebuah bandara untuk didarati pesawat sudah mendapat persetujuan kementerian perhubungan. Hanya ada kesan, bandara itu sedikit bebas. tak ada petugas bea cukai atau imigrasi. Padahal sesekali ada pesawat carteran perusahaan yang masuk dari Singapura atau sebaliknya.
Sebenarnya ini bukan sesuatu informasi yang baru. Tidak juga hal yang rahasia. Hanya kesadaran saja yang baru muncul. Kesadaran akan ancaman yang kemungkinan bisa memunculkan persoalan bagi negara di kemudian hari.
Sejak perusahaan tambang IMIP dan IWIP beroperasi, banyak persoalan yang muncul di sana.
Misalnya, info masuknya tenaga kerja asing asal China yang tidak terkontrol dengan baik. Sorotan banyaknya tenaga kerja asing ilegal yang sederajat tenaga buruh, bertiup kencang.
Namun begitu, pemerintah rezim Jokowi, termasuk kroni-kroninya, terkesan melakukan pembiaran dan selalu menepis informasi soal itu.
Ada puluhan ribu tenaga kerja yang masuk. Mereka hanya punya kapasitas setingkat buruh kasar. Tidak memiliki skill sebagaimana yang dipersyaratkan.
Keberadaan tenaga buruh ini telah merampas kesempatan tenaga kerja lokal. Praktik praktik yang keluar dari salah satu tujuan adanya investasi itu sendiri; memberdayakan potensi lokal sekaligus meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Jauh sebelum heboh bandara 'privat' IMIP di Morowali, praktik serupa juga sudah dijalankan oleh perusahaan tambang emas Nusa Halmahera Minerals (NHM) yang ketika itu masih dikelola sepenuhnya oleh perusahaan Australia, Newcrest Mining Limited.
Bandaranya juga terkesan privat. Tak sembarangan orang masuk, meski pejabat daerah atau kalangan DPRD.
Tapi saat ini ---setelah perusahaan itu beralih kepemilikan---, manajemen NHM sudah tidak protektif seperti sebelumnya.
Pemerintahan sebelum rezim prabowo, investasi asing dalam pengelolaan SDA cukup masif. Bahkan mereka di'anakemaskan'.
Perusahaan perusahaan ini benar benar eksklusif, dalam mengelola dan melakukan pengerukan kekayaan alam. Belum lagi adanya disparitas perlakuan manajemen antara tenaga kerja lokal dan tenaga kerja asing. Kecemburuan sering muncul. Tak jarang memicu konflik, sebagaimana yang pernah terjadi beberapa kali di Morowali.
Kehadiran investor asing asal China yang melibatkan puluhan ribu tenaga kerja memang sangat dibutuhkan. Hanya saja, perlu pengawasan dan kontrol untuk kewibawaan bangsa dan negara.
Sebab, secara politis, bisa saja ada opsi-opsi skenario terselubung jangka panjang yang samar dan terselubung mendompleng investasi ini.
Tidak ada yang bisa menjamin 30 - 50 tahun ke depan Indonesia baik baik saja.
Pada masa depan itu, para elit elit yang terlibat dalam berbagai kebijakan dan regulasi terkait dengan masuknya investasi asing, entah sudah berada dimana.
Yang pasti, sudah mati. Hanya tak ada yang tahu posisi mereka di mana. Mungkin saja mereka "ongkang-ongkang kaki" di Surga. Atau bisa jadi mereka ini tersiksa di neraka sambil melihat anak cucu mereka hidup kacau balau di atas bumi NKRI.
Kacau balau karena lingkungan alam, kondisi ekonomi dan politik yang juga berguncang-guncang.
Kekhawatiran ini muncul karena kecenderungan pragmatisme aparatur dan masyarakat kita. Banyak pembiaran. kontrol dan pengawasan tidak jalan karena mengejar kepentingan pribadi. Terhipnotis dengan uang.
Contoh kasus tambang ilegal di Ketapang Kalimantan Tengah. Warga asing asal China baru tertangkap setelah lebih dua tahu beroperasi.
Hasil tambang emas ilegal yang dikelola sudah menghasilkan ribuan kilogram. kedalaman tambang yang digarap sudah mencapai hampir 1 Km.
Apakah bisa dipercaya bila kerja seperti ini dilakukan diam diam tanpa diketahui aparatur negara?
Contoh lain di Ratatotok, Sulut. Tiba-tiba saja, muncul aparat kepolisian melindungi warga asing China yang diserang para penambang liar ratatotok, Minahasa Tenggara. Satu dari sekian penambang liar tewas tertembak.
Alasan penembakan, lantaran warga berlaku anarkis dan hendak mencuri material milik warga asing yang juga mengelola tambang secara ilegal. Kehadiran warga asing ini, terkesan pembiaran karena warga menganggap mereka sudah lama beroperasi.
Perorangan, berstatus ilegal pula, bisa beroperasi secara aman. Apalagi perusahan besar yang legal. So pasti lebih aman dan nyaman.
Hampir separuh daerah di Indonesia sudah dimasuki investor asing asal China dengan konsentrasi garapan beragam.
Tidak menutup kemungkinan, ada skenario jangka panjang yang sedang atau sudah mulai digarap tanpa kita sadari.
Apa itu? menguasai pemerintahan daerah, dimana perusahaan itu beroperasi. Dan secara bertahap menguasai pemerintahan Indonesia, khususnya dalam pengambilan keputusan strategis.
Kalkulasinya begini. Mereka memanfaatkan kelemahan yang ada pada masyarakat kita, dengan kelebihan yang dipunyai perusahaan itu sendiri.
Kelebihan perusahaan asing tidak lain adalah uang, hasil keuntungan usaha yang begitu besar.
Contoh saja Harita Group. Melalui anak perusahaanya PT Trimega Persada yang mengelola nikel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Perusahaan ini berhasil meraup laba usaha lebih dari Rp6 triliun pada tahun buku 2024.
Ini perusahaan nasional milik Taipan. Laba perusahaan ini tidak seberapa dibanding PT IMIP dan PT IWIP yang murni perusahaan asing. Itu karena skala usaha dua atau tiga kali lebih besar.
Kinerja keuangan dua perusahaan ini tidak terpublikasi. Status perusahaannya bukan 'Tbk'.
Bisa dipastikan laba perusahaan ini jauh di atas. Katakanlah Rp 10 triliun setiap tahun. Inilah kelebihan dan kekuatan yang dipunyai. Kekuatan yang terbentuk dari kekayaan alam Infonesia.
Boleh jadi, sebagian keuntungan perusahaan digunakan untuk ongkos politik. Semata untuk melindungi perusahaan, atau skenario yang lain lebih besar.
Dari laba Rp10 triliun, disisihkan 300 miliar saja, mereka bisa menguasai pemerintahan di daerah kabupaten. Mengamankan kuota kursi caleg di dapil perusahaan itu berdiri, serta ikut meloloskan 6 anggota DPR-RI dan 4 Anggota DPD.
Bila ini dilakukan secara bersamaan oleh perusahaan asal negara sama --apalagi ada perintah "satu komando" bagaimana wajah Indonesia ke depan. Hasil yang diperoleh dalam menggarap SDA, jadi bumerang bagi keutuhan NKRI.
Ini tentu hanya sebuah kekhawatiran yang muncul karena adanya fenomena pemerintah mendewakan investasi tanpa dibarengi pengawasan dan kontrol yang baik.
Negara terkesan lemah. Tidak hanya pada perusahaan besar, tapi kelompok dan perorangan orang asing banyak beroperasi secara ilegal di Indonesia. Proteksi terhadap keberadaan mereka dalam menjalankan usaha usaha ilegal sangat longgar. Bahkan cenderung terkesan dibiarkan karena pragmatisme aparatur.
Karenanya, sikap Menteri Pertahanan Sjafri Sjamsudin yang "marah" terhadap keberadaan bandara IMIP di Morowali, bisa dianggap sebagai sinyal membahayakan masa depan bangsa.
Hal seperti ini sudah tidak bisa dibiarkan. Harus dipelototi dengan serius. Bila kontrol dan pengawasan longgar, kita yang sudah ada di alam kubur bukannya mendapat kiriman doa dari anak cucu, tapi cacian mereka bersahutan atas kesalahan dalam mengelola negara sebelumnya. (*)