1. Beranda
  2. Opini

Ketika Alam Menjerit: Paradigma Ekoteologi sebagai Jawaban

Oleh ,

Oleh: Mohammad Ridwan Lessy
(Dosen Universitas Khairun)

Dialah Allah, yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS: al Mulk. 3).

Krisis ekologi kini terasa seperti denyut yang tak pernah berhenti. Berita tentang pemanasan global, mencairnya es di kutub, deforestasi masif, lautan yang tercemar plastik, udara yang kian penuh polusi, serta punahnya spesies setiap hari menjadi bukti nyata.

Baca di: Koran Digital Malut Post Edisi Selasa, 18 November 2025

Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: apa yang sebenarnya terjadi dengan bumi kita? Dan apakah paradigma ekoteologi sebagai pendekatan interdisipliner yang memadukan teologi dan etika ekologis—masih relevan untuk menjawabnya?

Defenisi Ekoteologi

Ekoteologi merupakan gabungan dari dua konsep: “eko” dan “teologi”. Kata “eko” berasal dari istilah Yunani oikos yang berarti rumah atau habitat, yang kemudian melahirkan istilah ekologi ilmu yang mempelajari interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Sementara “teologi” berarti ilmu tentang ketuhanan.

Dengan demikian, ekoteologi adalah pendekatan yang mengintegrasikan dimensi spiritual dan etika ke dalam relasi manusia dengan alam.

Konsep ini bukanlah gagasan baru; ia telah hadir dalam berbagai istilah yang memiliki nilai dan landasan etis serupa, seperti tauhid lingkungan, etika ekologis, moral lingkungan, dan ekospiritualitas.

Semua istilah ini menekankan bahwa menjaga keseimbangan alam bukan sekadar kewajiban moral, tetapi juga amanah spiritual yang terkait dengan keyakinan manusia terhadap Tuhan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Baca Juga