1. Beranda
  2. Opini

Ironi Hukum dalam Kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji

Ketika Hutan Hijau Dihabisi di Atas Meja Hijau

Oleh ,

Oleh: Madyatama SY. Failisa

Lihatlah bagaimana sebelas masyarakat adat di Maba yang hanya berani menjaga hutan dari kerak rakus perusahaan, justru dianggap pembuat onar oleh negara yang konon “berdaulat atas rakyat”.

Ironis, sebab di negeri ini, berbuat baik tanpa izin bisa lebih berbahaya ketimbang merusak alam dengan tanda tangan pejabat Kita boleh menyebutnya sebagai “otokratik legalisme versi tropis” di mana hukum tampak sibuk menegakkan aturan, tapi sesungguhnya menunduk pada kekuasaan.

Para hakim berargumen atas nama prosedur, padahal yang sedang mereka lindungi bukan kepastian hukum, melainkan kepastian ekonomi segelintir orang.

Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi Rabu, 22 Oktober 2025

Dan ironinya, ketika rakyat menggunakan cara-cara adat, spiritual, dan moral untuk membela tanahnya, negara menuntut mereka untuk “menempuh jalur hukum”. Pertanyaannya: jalur hukum yang mana? Jalur yang sudah lama dibeton oleh kepentingan modal?

Sarkasme sejarah terletak di sini: hukum dibuat untuk melindungi manusia, tapi manusia kini harus minta izin pada hukum untuk tetap menjadi manusia. Mereka yang menanam, berdoa, dan menjaga hutan ditanya: “Apakah Anda sudah mendaftarkan kepedulian Anda ke pengadilan negeri?”

Kalau belum, maka peduli dianggap pelanggaran; cinta pada alam dicap kejahatan. Inilah absurditas hukum yang sedang kita hadapi hukum yang terlalu rasional untuk memahami kesetiaan, dan terlalu birokratis untuk mengenal nurani.

Vonis terhadap sebelas masyarakat adat Maba bukan sekadar kekeliruan yuridis, tapi simptom penyakit lama: bahwa dalam sistem hukum kita, “keadilan” hanya berlaku bila tidak mengganggu kenyamanan penguasa.

Baca Halaman Selanjutnya..

Baca Juga