1. Beranda
  2. Opini

Jeritan Para Petani Desa Marabose

Oleh ,

WAKTU menunjukkan pukul 16:53 WIT, saya duduk disebuah bangunan, terlihat agak tua dan kumuh karena tidak terurus, berteduhlah saya dan beberapa teman-teman sambil menikmati sebatang rokok penuh dengan kehangatan, laluh memikirkan derita yang dirasakan oleh petani kelapa pada umumnya. Mengingat cuaca tidak sedang baik-baik saja, hujan deras serta angin bertiup di segalah arah membuat kita semua harus berdiam ditempat. Setalah di pikir-pikir, bangunan tersebut berlantai tiga di salah satu kampus tepatnya berada di Kota Ternate. ISDIK Kieraha Ternate namanya, bersamaan saya membuka salah satu aplikasi di hanphone yaitu fecebook, sambil di scrol terlintas sebuah vidio berdurasi satu menit, menunjukkan ada sebuah kelompok petani sedang melakukan aktivitas keseharian dalam rangka mengeluarkan hasil panen mereka Kopra (kelapa dalam), juga dalam vidio tersebut terlihat ada 12 orang sedang memegang tali yang terikat di sebuah mobil seperti sudah bersiap-siap untuk menarik mobil tersangkut akibat dari jalan sebagai akses mereka untuk mengangkut kopra telah basah dan licin, melalui status laman media info-halsel tersebut bertuliskan “jalan tani Kaladi ketika musim hujan petani kopra tarik dum trek naik gunung yang berisi muatan kopra”.

Sepintas cerita saya berusaha menggambarkan proses para petani Desa Marabose dengan latar belakang pekerjaannya hampir sebagian besar adalah petani kelapa, inilah titik fokus untuk melihat bahwa jalan yang dilalui oleh petani bisa dibilang tidak terlaluh memadai apalagi disituasi dan kondisi cuaca seperti ini. Karena telah menjadi permasalahan paling urjens berkaitan dengan akses jalan. Desa Marabose masuk salah satu desa berada di kebupaten halmaherah selatan dari 30 kecamatan. Marabose dibawa administrasi kecamatan bacan dan secara teritorial berada di pulau bacan itu sendiri. Singkatnya awal mula sebelum desa marabose di mekarkan, pertama kali menjadi desa ialah “kaladi”. Dahulu kaladi sebagai kampung pertama, penamaan serupa dibuat oleh orang tua-tua terdahulu hingga sampai sekarang masyarakat masih bergantung hidup serta bercocok tanam dengan jenis tanaman tahunan, bulanan, dan mingguan. Hasilnya begitu melimpah. Disana bukan hanya kelapa yang dikelolah, melainkan ada juga cengkih, pala, dan beberapa jenis rempah lainya, sudah di anggap sebagai penopang kehidupan masyarakat desa Marabose.

Hal serupa membawa saya berada pada ruang “refleksi”, dalam melihat apa semestinya menjadi kebutuhan mendasar buat mereka sebagai petani di kebun kaladi. Karena saya melihatnya sebagai suatu fenomena, diabaikan tanpa perhatian khusus oleh Pememrintah Daerah, bahkan mereka dipaksakan untuk turut menikmati penderitaan atas jalan tani yang tak kunjung di perhatikan. Padahal melalui akses jalan tersebut para petani tidak lagi melakukan pekerjaan ganda dengan mendorong dum trek ketika sedang mengankut hasil panen mereka. Belum lagi berkaitan dengan harga sering mengalami fluktuasi sesuai dengan permintaan pasar global. semestinya sebagai pemerintah daerah harus mengambil sikap dengan persoalan demikian, bukan malah memikirkan kerja sama dengan pemerintah pusat melalui menteri pertanian yang dalam pembahasannya hanya difokuskan pada hilirisasi kelapa sebagai bagian dari visi agromaritim untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional, sementara para petani lokal di kesampingkan.

Melalui kerja sama tersebut diperkirakan kisaran anggaran dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp7,2 Triliun dianggarkan pada tahun ini, sebagaimana turut mendukung hilirisasi kelapa secara nasional. Maluku Utara, khususnya kebupaten halmahera selatan, akan menjadi prioritas utama dalam pengembangan kawasan industri kelapa. Namun yang diproduksi ada beberapa jenis produk seperti virgin coconut oil (VCO), skim milk, nata de coco, dan arang aktif. Sampai sejauh ini, apakah pemerintah telah berfikir tentang bagaimana proses untuk melanggengkan PERDA tata niaga yang mengatur soal komoditas unggulan berupa pala, cengkih, dan juga kelapa. Sehingga tidak ada lagi permainan harga oleh para tingkulak.

Logikanya agak terbalik bila melihat apa yang menjadi visi bupati Halmahera Selatan pada hilirisasi kelapa melalui kerja sama dengan Menteri pertanian, sebagai landasan industry yang nantinya beroperasi. Saya melihatnya tidak hanya proses pengembangan pendapatan baik untuk daerah maupun nasional, akan tetapi dilihat dari aspek keseharian Masyarakat dalam mengelolah kelapa dalam menjadikan kopra sangatlah sulit, karena prosesnya membutuhkan beberapa tahapan. Selain itu, berkaitan dengan infrastruktur Pembangunan seperti jalan tani belumlah merata secara keseluruhan untuk para petani kelapa yang membutuhkan, salah satunya petani desa marabose. Hemat saya, bahwa sebelum langkah yang diambil sebagai untuk membangun industry kelapa dalam semestinya di utamakan duluan adalah akses jalan para petani.

Kini Marabose tidak hanya sebuah nama yang diberikan oleh pihak kesultanan. Seperti telah disampaikan oleh Sultan M. Irsyad Maulana Albaqir Sjah, ketika menghadiri kegiatan memperingati hari jadi desa marabose yang ke-19 pada, jumat (19/09/2025). Bahwa marabose bukan sekadar nama desa, melainkan menyimpan sejarah peradaban besar di kesultanan bacan, dikutip melalui laman RRI.co.id. Bukan hanya itu, terdapat di dalamnya menyatukan berbagai macam suku ras dan juga budaya. Namum yang menghidupi separuh dari masyarakat desa marabose adalah hasil panen mereka (kopra), tempatnya agak sedikit berjauhan dengan pemukiman warga, biasanya disebut “kebun kaladi”. Terhitung dari desa yang ditempati dengan jarak kebun tersebut sejauh 6 km. aksesnya bisa menggunakan sepeda motor, mobil, dan berjalan kaki. Jalan kebun itu searah dengan tempat pembuangan akhir (TPA), maka dari itu tulisan ini adalah bentuk kritik terhadap kepemimpinan Ali Basam Kasuba selaku bupati halmahera selatan, agar kiranya dapat melihat dan menindaklanjuti apa yang kemudian menjadi kelu kesa masyarakat desa marabose (para petani kelapa).(*)

Baca Juga