1. Beranda
  2. Olahraga

Bara Abadi Liga Inggris: Liverpool vs Manchester United di Panggung Anfield

Oleh ,

Hasanuddin Arbi

Suara sejarah kembali menggema dari Barat Laut Inggris, Minggu (19/10/2025) malam nanti. Panggung megah Anfield akan menjadi saksi hidup dari salah satu rivalitas paling tua dan membara dalam dunia sepak bola: Liverpool kontra Manchester United.

Pertemuan dua klub itu bukan sekadar pertandingan biasa, tetapi pertempuran dua kota, dua budaya, dan dua kebanggaan yang telah beradu lebih dari satu abad.

Duel berjuluk North West Derby ini tak pernah gagal membangkitkan emosi. Sejak pertemuan pertama di 1894, api permusuhan di antara dua klub raksasa ini menyala dan tak pernah padam.

Panasnya rivalitas itu terus diwariskan dari generasi ke generasi, bukan hanya karena sepak bola, tetapi karena sejarah panjang antara dua kota yang hanya terpisah 35 mil di Britania Raya: Liverpool dan Manchester.

Jauh sebelum stadion megah berdiri dan nama-nama besar seperti Ferguson atau Shankly dikenang, benih permusuhan sudah tumbuh dari urusan ekonomi.

Pada akhir abad ke-18, Liverpool menjelma menjadi pelabuhan utama dunia. Kota ini makmur dari perdagangan lintas samudera, sementara Manchester berkembang menjadi pusat industri tekstil Inggris. Namun, hubungan keduanya memburuk ketika para pedagang Manchester geram terhadap biaya pelabuhan yang mencekik di Liverpool.

Amarah itu mencapai puncaknya pada 1894, ketika Manchester membangun Manchester Ship Canal, jalur air yang memungkinkan kapal berlabuh langsung ke jantung industrinya tanpa harus melalui pelabuhan Liverpool.

Langkah itu dianggap sebagai penghinaan besar. Bagi penduduk Liverpool, pembangunan kanal adalah bentuk pemberontakan ekonomi—sebuah tamparan di wajah kebanggaan mereka.

Sejak saat itu, hubungan dua kota ini retak tanpa perbaikan. Permusuhan ekonomi menjelma jadi kebencian sosial dan budaya yang terus bertahan hingga kini. Hingga, di masa modern, bayang-bayang stereotip lama masih terasa: warga Manchester dikenal sebagai pekerja keras dengan tangan berminyak, sementara penduduk Liverpool dicemooh sebagai pemalas, ejekan yang masih bergema dari tribun ke tribun di setiap laga mereka.

Perang itu tak berhenti di pelabuhan atau pabrik, tetapi merembes ke kebudayaan dan gaya hidup. Liverpool menjawab dengan kebanggaan mereka: The Beatles, band legendaris yang mengubah wajah musik dunia pada era 1960-an. Namun, Manchester tak mau kalah. Mereka melahirkan Joy Division, The Smiths, The Stone Roses, hingga Oasis—band yang menjadi simbol kebanggaan generasi baru dan menegaskan bahwa pertempuran antarkota itu tak mengenal kata selesai.

Ketika rivalitas ekonomi dan budaya berpindah ke lapangan hijau, intensitasnya justru makin menggila. Liverpool mendominasi sepak bola Inggris pada 1970-an dan 1980-an, meninggalkan Manchester United dalam bayang-bayangnya dengan 19 trofi utama hanya dalam 17 tahun. Tapi, sejarah berbalik arah saat Sir Alex Ferguson datang membawa misi suci: menjatuhkan Liverpool dari singgasana. “Tantangan terbesar saya bukan apa yang terjadi saat ini,” katanya berapi-api saat menjadi suksesor klub berjulukan Setan Merah tersebut. “Tantangan terbesar saya adalah menjatuhkan Liverpool dari takhta mereka.” Dan ia membuktikannya.

Selama dua dekade, Ferguson membangun imperium merah dari Old Trafford. United memenangkan 21 gelar domestik utama dalam 18 tahun dan akhirnya menyalip Liverpool dalam jumlah trofi liga. Bagi Liverpudlian atau Kopites, itu menjadi luka yang tak pernah sembuh. Sementara bagi penggemar United, itu lah pembalasan paling paripurna—sebuah Deja Vu dari abad ke-19 ketika Manchester menaklukkan Liverpool lewat kanal kapalnya.

Kini, menjelang laga di Anfield Minggu (19/10/2025) malam nanti, bara lama itu dipastikan kembali menyala. Liverpool hadir dengan semangat mempertahankan harga diri di kandang sendiri, sementara Manchester United di bawah nakhoda baru bertekad menghidupkan lagi kejayaan yang sempat pudar. Pertandingan ini bukan hanya tentang meraih tiga poin. Namun, tentang kehormatan, dendam, dan sejarah yang tak pernah selesai ditulis.

Ketika peluit pertama ditiup di Anfield nanti, seketika itu pula seluruh kisah panjang masa lalu akan bangkit: dari pelabuhan dan pabrik, dari musik dan kebanggaan, hingga dari darah dan keringat para legenda yang pernah melangkah di lapangan ini.

Gairah, kecemburuan, dan kebencian akan menari bersama di udara, menghidupkan kembali rivalitas yang tak mengenal waktu. Dan seperti selalu, satu hal pasti—bahwa pertarungan Liverpool dan Manchester United bukan sekadar sepak bola. Ia adalah kisah panjang dua kota yang selamanya ditakdirkan untuk saling menatap dengan api di mata mereka.*