Ruang Fiskal Tertekan, Harapan Tak Boleh Padam
Oleh: Yuliyana Susan Kalengkongan, S.E,. M.Si
(Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Unkhair)
Pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat dalam tahun anggaran 2025 menjadi pukulan berat bagi banyak daerah, terutama bagi provinsi kepulauan seperti Maluku Utara.
Di tengah tantangan ekonomi global dan meningkatnya kebutuhan pembangunan, keputusan ini semakin mempersempit ruang fiskal daerah yang sejak lama sudah terbatas.
TKD selama ini menjadi tulang punggung keuangan Maluku Utara. Lebih dari 80 persen pendapatan daerah bersumber dari transfer pusat, mulai dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), hingga Dana Alokasi Khusus (DAK).
Sementara itu, Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih rendah karena struktur ekonomi lokal yang belum kuat dan dominasi sektor primer seperti pertambangan dan perikanan.
Ketika TKD dipotong, dampaknya langsung terasa. Banyak rencana Pembangunan dan janji-janji politik yang harus direvisi atau bahkan ditunda. Belanja infrastruktur, bantuan sosial, hingga program pemberdayaan ekonomi masyarakat menjadi korban penyesuaian anggaran.
Padahal, kebutuhan di lapangan justru terus meningkat—mulai dari konektivitas antar-pulau, pembangunan sekolah dan rumah sakit, hingga penguatan UMKM.
Ironisnya, beban belanja rutin tak bisa dihindari. Gaji pegawai, biaya operasional kantor, dan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan tetap harus dijalankan. Akibatnya, ruang fiskal yang benar-benar bisa digunakan untuk pembangunan baru menjadi sangat sempit.
Baca Halaman Selanjutnya..